Wawancara Ifa Isfansyah

Isfansyah: Kritik Bikin Lebih Fresh!

Oleh: / March 8, 2010
Beberapa jam menjelang Semifinal Leg I Liga Champions 2007-2008 antara Manchester United vs Barcelona, Bayu Bergas mewawancarai Ifa Isfansyah yang tengah berada di Korea via YM. Kepada Bayu, selain membeberkan pandangannya tentang kualitas dan apresiasi film pendek Indonesia, Ifa juga membuka tiga hal hasil evaluasinya terhadap proses yang ia lalui sebagai sutradara selama ini, termasuk soal beberapa produser yang menawarinya untuk masuk dalam ‘selera pasar’. Yang tak kalah mengejutkan, meski Ifa mengaku sedemikian respek terhadap Edwin, namun Ifa tetap menyebut bahwa Edwin tak bisa dipercaya!
* * *

Bayu: Selamat atas kemenanganmu di Hongkong Independent Film-Video Award 2008 tempo hari.
Ifa: Oke!
Bayu: Apa artinya buatmu, Fa?
Ifa: Secara umum buat aku festival adalah sebuah perjalanan. Aku mempercayai setiap orang yang berada di festival film manapun untuk mengapresiasi filmku. Jadi setiap filmku diputar atau diapresiasi, aku selalu merasa filmku sedang melakukan sebuah perjalanan yang kadang lancar kadang nggak. Sedangkan kemenangan itu seperti bonus di tengah jalan. Seperti halnya saat kita sedang berada di tengah jalan dan dikasih makanan enak yang gratis. Jadi benar-benar bonus, bukan tujuan. Tapi yang Hongkong kemarin, itu agak beda. Itu kemenangan pertamaku di luar Indonesia.
Bayu: Oke. Lalu apa istimewanya kemudian, terkait dengan rencana produksimu yang berikut?
Ifa: Yang pasti, aku langsung merevisi biografiku di proposal project film selanjutnya. Hahahaha…
Bayu: Hahaha..
Ifa: Hahaha… Karena kalau maksud dari pertanyaanmu itu adalah uang untuk memproduksi filmku selanjutnya, jujur aku nggak dapat uang banyak dari kemenanganku kemarin. Jumlahnya nggak ada artinya dengan yang sudah aku keluarkan selama ini untuk film-filmku. Sampai saat ini uang belum menjadi poin utama setiap aku bikin film. Mungkin nanti. Hahaha!
Bayu: Selain itu, adakah yang benar-benar istimewa?
Ifa: Hmm… Ya sesederhana itu. Dari kemenangan kemarin aku merasa filmku diapresiasi dengan bagus dan aku lebih percaya diri untuk memulai project selanjutnya.
Bayu: Oke. Secara umum, penilaianmu akan kualitas film-film pendek Indonesia saat ini gimana?
Ifa: Wah.. Kalau kualitas ya masih belum sampai. Ada kesadaran berproduksi saja sudah oke-lah sementara ini. Kualitas itu butuh proses dan belajar. Selama pembuat film pendek dalam berproduksi hanya untuk refreshing atau mengisi waktu luang, susah! Tapi lihat saja, siapa yang serius menekuni, kualitas pasti otomatis ngikut di belakangnya. Ini semacam konsepsi perjalanan dari para pembuatnya.
Bayu: Misalnya siapa tuh?
Ifa: Misalnya, aku sebut satu nama: Fajar Nugross. Aku salah satu orang yang ngikutin perkembangan dia. Karena mungkin awalnya berasal dari satu kota (Yogyakarta). Semua orang tahu, betapa jelek filmnya dia yang pertama dan yang awal-awal dulu. Tapi itu nggak masalah buat aku, karena aku yakin dia bikin film bukan untuk sekadar iseng atau mengisi waktu luang. Akhirnya dia serius, walaupun nggak pernah belajar film secara formal. Dan aku lihat filmnya dia yang terakhir, itu sudah jauuuuuh lebih bagus dan enak dilihat. Ke depannya, aku yakin film-filmnya akan lebih bagus lagi.
Bayu: Ada nama lainnya?
Ifa: Sedikit banyak aku juga tahu Bowo Leksono (Purbalingga). Aku lihat film-filmnya dia. Aku kenal film-filmnya. Dari pertama lihat, aku merasa senang ada film seperti itu. Ada yang bikin film seperti itu. (Film-film Bowo Leksono biasanya kental dengan unsur lokalitas Purbalingga dan sebagian besar juga menggunakan bahasa Banyumasan yang ngapak-ngapak.)
Bayu: Lalu gimana penilaianmu?
Ifa: Awalnya mungkin karena aku juga berasal dari daerah yang hampir sama dan aku akrab dengan bahasa itu. Ibuku asli Cilacap dan memang seperti itu bahasanya kan?! Hahaha.. Jadi aku termasuk orang yang kemudian sayang sama Bowo dan berharap karyanya akan sekuat itu terus. Sampai detik ini aku pikir dia masih konsisten. Aku suka itu.
Bayu: Tapi bukan tanpa cacat ‘kan?
Ifa: Iya, tentu. Misalnya, aku nggak begitu tahu bagaimana proses belajar Bowo. Aku pengen tahu itu. Maksudku di sini tentang teknis, yang memang bukan hal utama tapi menurutku sangat penting.
Bayu: Oke, bagaimana kamu melihatnya?
Ifa: Gini deh, selama ini orang-orang masih nggak mempermasalahkan teknis saat lihat film-filmnya Bowo. Karena memang jelas bukan di situ kekuatannya. Tapi satu atau dua tahun ke depan itu akan sangat jadi masalah. Teknis yang aku maksud, bukan Bowo yang harus tahu tentang teknis pembuatan film modern dengan segala tetek-bengeknya. Tapi lebih ke teknis yang tepat untuk kondisi dan cerita dalam film-filmnya. Itu yang aku pengen tahu! Karena aku orang yang percaya bahwa keterbatasan teknis itu bisa menjadi kelebihan. Menurutku, Bowo dan kawan-kawan di Banyumas punya ‘pekerjaan rumah’ yang banyak banget dan lebih daripada sekadar teknis.
Bayu: Terkait dengan usaha untuk turut mendongkrak kualitas film-film pendek Indonesia, bukannya banyak tuh forum-forum diskusi, bahkan dengan skala yang kecil sekalipun untuk turut memberikan masukan atau kritik pada filmmakers?
Ifa: Sepakat. Tapi bagaimana dengan konsep perjalanan yang aku bilang tadi. Perjalanan adalah terus berjalan alias tidak berhenti di satu titik. Pada akhirnya, tidak hanya sadar membikin lho. Forum kecil ‘kan juga aku lewati.
Bayu: Oke. Apa forum-forum kecil yang ada selama ini sudah meng-cover yang kamu mau, sebagai filmmaker?
Ifa: Forum kecil yang mana yang kamu maksud? Banyak sekali dan semuanya hampir punya karakter yang berbeda.
Bayu: Jogja sebagai lingkungan yang paling akrab denganmu?
Ifa: Hmmm… Selama ini sih forum-forum kecil itu nggak ada masalah. Yang aku lihat masalahnya justru output dari itu. Misalnya aku diundang atau mengundangkan diri di sebuah forum rutin yang muter filmku dan di sana ada diskusinya juga. Aku selalu nggak ada masalah dengan forum sekecil apapun. Walaupun yang datang cuma 3 orang dan kita diskusi. Tapi tuntutanku selanjutnya adalah bagaimana agar hasil diskusinya itu juga bisa diakses orang lain, bahkan masyarakat umum. Nggak harus lewat koran. Bisa lewat blog atau ditulis dan dikirim ke milis. Itu menjadi penting, seburuk apapun kualitas forum itu. Agar pergerakan sekecil apapun bisa terdeteksi. Kalau prosesnya bagus, forum sekecil apapun fungsinya bisa sama saja dengan festival film yang besar-besar itu.
Bayu: Tapi nggak semua filmmaker doyan kritik lho, Fa…
Ifa: Hahaha… Iya! Itulah kenapa aku bilang kebanyakan masih dalam tahap sadar produksi.

Bayu: Lalu menurutmu gimana dengan mentalitas yang seperti itu?
Ifa: Aku pikir kualitasnya akan jalan di tempat. Dan sekarang pun ini sudah jadi masalah. Misalnya, kalau seumpama film pendek Indonesia untuk mendapat pengakuan maka ia harus beredar di festival luar negeri, ini jadi masalah. Harusnya ya kita bisa seperti bahasa klasik “menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Film pendek Indonesia ya harusnya dapat pengakuannya di Indonesia. Ironisnya, hampir semua film pendek yang dinilai oleh kritikus sebagai film bagus, itu pasti karena film-film tersebut sudah pernah diputar di festival luar negeri. Maksudku, kok yang ngasih pengakuan malah orang luar yang notabene kulturnya beda dengan kita, sehingga hampir pasti cara menilainya pun sangat berbeda. Padahal festival itu relatif. Itu hanya masalah selera saja. Dalam hal ini tentu saja selera si programer festivalnya.
Bayu: Film-filmmu sendiri juga masuk festival luar negeri. Apa ada statement khusus yang ingin kamu sampaikan ke luar sana?
Ifa: Hahahaha… Kalau filmku ke luar negeri dan diputer di beberapa festival di sana, maka bukan berarti film-filmku bagus juga. Karena ternyata lebih banyak lho festival yang menolak film-filmku. Kalau mengacu pada konsep perjalanan tadi, seharusnya justru filmku bisa menang di Hongkong kemarin setelah mendapat tempat di Indonesia sendiri.
Bayu: Lalu kenapa tidak? Hahaha
Ifa: Hahahaha(Ifa menjelaskan masalah sulitnya ‘Setengah Sendok Teh’ diputar di Indonesia, namun Ifa meminta agar masalah ini off-the record.)
Bayu: Oke. Kita belum bisa ngomong soal kualitas film pendek Indonesia. Tapi paling tidak, kita sudah ngomong soal apresiasi terhadapnya, sebagai bagian dari proses pencapaian kualitas. Terlepas dari output atau fungsi informatifnya tadi, bagaimana kamu melihat ruang-ruang apresiasi di dalam negeri?
Ifa: Lembaga untuk apresiasi yang menjadikan film-film pendek kita mendapat tempat di negeri kita sendiri itu kurang. Kalau berharap festival—misalnya sebut saja Konfiden (Festival Film Pendek Konfiden)—itu kan setahun sekali. Dan hampir pasti semua festival kita setahun sekali. Padahal orang bikin film pendek itu nggak musiman! Nah harus ada forum yang bergerak sepanjang tahun tapi itu bisa dijadikan jalur untuk film pendek tadi. Jalur yang intinya benar-benar untuk apresiasi karya-karya yang ada. Tentu jadi masalah sampai sekarang, untuk mendapat pengakuan atas karya kita kok masih harus dari luar negeri. Padahal lebih asyik kalau dapat apresiasi di negara kita sendiri, karena jelas kultur dan latarbelakang masyarakatnya sama. Yang dimakan nasi sama tempe juga! Hahaha
Bayu: Sebagai sutradara, posisi kritik menurutmu seperti apa?
Ifa: Aku merasa belum pernah di kritik secara resmi. Tapi buat aku mungkin kritik jadi kayak refreshing untuk film berikutnya. Dengan kata lain, semakin banyak aku dikritik maka aku merasa semakin fresh. Hehehe.. Tapi yang selama ini sih aku merasa kritik itu sebuah surprise. Sebuah kejutan! Setidaknya sampai saat ini.
Bayu: Maksudmu?
Ifa: Komentar-komentar singkat. Ada beberapa programer festival yang memberi komentar tentang filmku (Setengah Sendok Teh). Dan pada setiap komentarnya pasti ada yang membuatku terkejut. Misalnya Philip Cheah (Singapore International Film Festival) dia memberi komentar, “Ini film yang pas untuk pasangan yang sudah menikah, biar mereka nggak terlalu banyak nonton TV.” Aku nggak pernah kepikiran itu dan aku kaget. Terus Yu Un Seoung (Jeonju International Film Festival) berkomentar, “Ifa, kamu pasti bagus banget kalau bikin film horor. Buatku film kamu adalah film horor yang menakutkan.” Hahaha! Romantic Horror, begitu dia menyebutnya. Setiap detiknya dia selalu tegang dan terteror dengan kata-kata cinta di filmku itu. Aku terkejut aja, karena tanpa musik atau adegan yang menakutkan, bagi dia aku sudah berhasil membangun suasana menakutkan.
Bayu: Jadi, selama ini sebatas komentar-komentar singkat gitu ya. Ada lagi yang menarik?
Ifa: Hmmm… Philip juga tanya, “Apakah ‘Setengah Sendok Teh’ itu film Indonesia pertama yang ada adegan meremas payudara?”
Bayu: Hahaha… Lalu kamu jawab apa?
Ifa: Aku jawab nggak tahu. Nggak berani jawab pertanyaannya dia. Hahaha..
Bayu: Kalau kamu bilang nggak pernah merasa dikritik secara resmi, setidaknya kamu bisa otokritik dong. Evaluasi dari prosesmu selama ini? Tiga teratas deh.
Ifa: Hmmm… Pertama, di dua film terakhir aku udah nggak cuma sadar produksi. Tapi juga sadar distribusi. Menurutku itu penting. Karena selama ini sutradara film pendek kita baru pada tahap sadar produksi. Yang kedua, sekarang aku sudah fokus ke cerita, tidak melulu terkonsen pada pencapaian teknis. Yang aku butuhkan sungguh-sungguh saat membuat film adalah merasakan emosi yang ada dalam space filmku. Dan yang ketiga adalah bahwa salah satu hal terberat menjadi seorang Ifa Isfansyah adalah menahan hasrat untuk meniru sesuatu yang bagus.
Bayu: Maksudmu?
Ifa: Lihat rumah bagus, pengen niru. Lihat mobil bagus, pengen niru. Hahaha.. Nek duwe duit!
Bayu: Hahaha.. Terus?
Ifa: Nah, sekarang aku sudah nggak tahan itu. Tapi aku sudah bisa gimana memanfaatkan itu menjadi kelebihanku. ‘Manajemen-meniru’ku sudah lebih bagus dan justru menjadi poin yang positif. Cieeee… Aku adalah anak terkecil yang dari dulu kebiasaan di keluargaku apa-apa itu ya yang jadi patokan pasti yang lebih tua. Dan kebetulan kakak dan mbak-ku memang orang yang pantas ditiru.
Bayu: Jangan-jangan kamu lagi curhat nih?
Ifa: Hahaha.. Iya, sekalian curhat. Aku jadi orang yang kalau lihat yang bagus-bagus jadi pengen. Nah, di film awalnya itu jadi masalah. Gimana caranya menahan diri. Tapi sekarang aku pikir buat apa ditahan-tahan. Justru energi itu aku pakai. Aku manage. Dan aku pikir hampir setiap kreator punya kecenderungan itu, mungkin. Kebetulan juga aku memang orang yang tidak terlalu suka menciptakan atau menemukan sesuatu yang baru. Mungkin belum. Sekarang baru berada di tahap bagaimana caranya menciptakan sesuatu yang bagus. Bukan yang baru.
Bayu: Oke, jadi itu tiga hal terpenting dari evaluasimu?
Ifa: Ya. Itulah tiga evaluasi selama prosesku: sadar distribusi, focus to the story dan manajemen pengaruh.
Bayu: Bisa lebih spesifik lagi soal sadar distribusi?
Ifa: Lebih ke distribusi film-filmku ke beberapa festival.
Bayu: Hmmm… Tapi bukannya memang itu track-mu?
Ifa: Nggak juga. Aku masih merasa bisa dan mempunyai kesempatan berjalan di multitrack. Ya festival, ya ke masyarakat umum lewat bioskop baik yang mainstream ataupun alternatif. Aku merasa masih punya kesempatan itu. Aku masih muda.
Bayu: Maksudku, dengan melihat prosesmu beberapa tahun ke belakang…
Ifa: Oooh.. Iya. Karena hanya itu pilihannya agar aku bisa tahu kualitas filmku.
Bayu: Setelah tahu itu, bagaimana ancang-ancangmu untuk satu, dua atau lima tahun ke depan?
Ifa: Waduh.. Pacarku aja nggak berani nanya itu! Hahaha… Yang jelas tahun depan aku sudah janji untuk berbuat sesuatu yang penting untuk diriku sendiri dan film Indonesia. Dari awal aku nggak berharap banyak dari apa yang aku peroleh di Korea sini. Karena memang sedari awal lebih pada sebuah keputusan untuk berani meninggalkan rumah dan negaraku dengan harapan pulang untuk menjadi orang yang lebih baik. Itu yang terpenting. Hmmm… Tahun depan film panjangku yang pertama! Judulnya ‘Rumah dan Musim Hujan’. Pokoknya hanya aku, kamu dan rasa rindu yang selalu masuk melalui lobang kunci pintu. Itu aja. Hehehe
Bayu: Sudah ada produser yang nawarin kamu tentunya.
Ifa: Waduhhh! Hahaha… Iya. Ada beberapa.
Bayu: Gimana tuh ceritanya? Bisa sebut nama juga kan?
Ifa: Jangan! Soal produser ini lumayan parah.
Bayu: Hahaha… Nanti namanya aku cut di editing deh?
Ifa: Hahahaha… Nggak.
Bayu: Oke. Tapi sedikit soal produser dan distribusinya?
Ifa: Oke. Gini, untuk sekarang intinya kan aku pengen bikin film dan filmku ditonton orang sebanyak-banyaknya. Dan untuk mewujudkan itu, produser sebuah PH besar dengan distribusi 21 tentu sangat menarik ‘kan?!
Bayu: Dia punya nama dong..
Ifa: Hahaha… Nggak.
Bayu: Hahaha… Oke, lanjut..
Ifa: Nah, kecuali kalau aku bikin film dengan jaringan distribusi yang aku jalankan sendiri dan itu bisa ditonton orang sebanyak di 21, mungkin aku udah nggak tertarik lagi. Pada prosesnya, ada beberapa tawaran cerita yang memang belum cocok. Dengan kata lain, ya sekarang aku belum bisa terima beberapa tawaran cerita dari produser itu. Intinya aku belum terikat kontrak sama pihak manapun. Meski sebenernya kalau mau jujur, lebih susah nolak produser daripada nolak cewek. Hahaha…
Bayu: Hahaha…
Ifa: Mungkin akan beda kalau produsernya cewek! Hahaha…
Bayu: Eh, itu Ucup (Andibachtiar Yusuf) bikin ‘The Conductors’ diproduseri sendiri. Dan diambil Jive untuk distribusinya. Makanya orang-orang bilang Ucup sekarang jadi filmmaker dokumenter terkaya di Indonesia. Hahaha…
Ifa: Hahaha… Yang aku tahu malah Persija mau dibeli sama Ucup. Mau dijadiin PH sama dia: PT. Persija Sinema! Hahaha…
Bayu: HahahaEh, Fa… Film-film pendek siapa sih yang selalu kamu ikuti?
Ifa: Hmmm.. Ada beberapa filmmakers yang selalu aku perhatikan. Dari mereka, aku selalu bisa menangkap spiritnya. Bahkan tanpa aku menonton film-filmnya. Sebagai sutradara, aku dapat spirit ketika mengikuti proses mereka selama ini. Tapi tentu saja juga dari karya yang mereka hasilkan. Itu penting buat aku dan prosesku berikutnya.
Bayu: Siapa aja misalnya?
Ifa: Biasanya teman-teman yang berasal dari daerah. Aku suka semangat yang dibawa di film-filmnya. Misalnya Bowo seperti yang aku bilang tadi. Lalu teman-teman di Jogja dan Jawa Timur. Nggak tahu kenapa, aura dan energi yang ada di setiap film dari daerah itu selalu bagus.
Bayu: Aura dan energi yang gimana?
Ifa: Aura dan energi yang aku butuhkan sebagai seorang filmmaker dong. Hehehe…
Bayu: Kalau Edwin?
Ifa: Edwin? Aku selalu suka energi yang ada di film-filmnya Edwin. Aku respek banget. Selalu bisa menangkap energinya dan itu sangat berguna buat aku. Tanpa harus tahu ceritanya atau bahkan dari filmnya Edwin yang aku nggak suka!
Bayu: Misalnya?
Ifa: Misalnya, aku nggak suka dengan cerita dan gaya ‘Very Slow Breakfast’. Tapi aku suka dengan filmnya secara utuh. Aku bisa merasakan energinya. Atau bahkan yang paling nggak aku suka: ‘Dajang Soembi’ (Dajang Soembi: Perempuan Jang Dikawini Andjing). Tapi ya itu tadi, aku dapat energi dari film itu. Dengan kata lain, buatku: itulah film!
Bayu: Punya Edwin yang paling kamu sukai?
Ifa: Sampai sekarang aku suka ‘Trip to The Wound’.
Bayu: Edwin disebut oleh Eric (Eric Sasono) sebagai filmmaker yang masih berkutat dengan hal-hal berbau eksistensialis. (Percakapan Joko Anwar, Edwin dan Eric Sasono di www.rumahfilm.org).Menurutmu?
Ifa: Aku tidak tahu apa itu arti eksistensialis yang dimaksudkan. Tapi menurutku Edwin adalah filmmaker yang membuat film karena memang ada yang ingin dia buat. Film-film dia sangat berbicara, bahkan mungkin tanpa Edwin punya maksud terhadap apa yang ingin dia bicarakan. Seperti yang tadi aku bilang, kadang aku sendiri nggak suka dengan cerita atau gayanya. Tapi aku suka dengan filmnya secara utuh. Makanya aku berani bilang ya karena… itulah Edwin! Hehehe… Intinya, apapun yang dia buat selalu bermanfaat buat aku sebagai pembuat film.
Bayu: Apa Edwin juga menilaimu seperti itu ya? Hehehe..
Ifa: Hahaha… Aku nggak tahu. Mungkin karena—istilahnya Ucup—aku dan Edwin bermain di liga yang sama. Hahaha… Aku pernah bilang ke Edwin dan pengen bilang ke Waditya (Wahyu Aditya, HelloMotion) juga: ‘Mayar’ itu aku tulis pada malam setelah aku datang melihat syuting mereka di Jogja waktu garap ‘Eva, Kenapa Rumahmu Jauh?’. Aku dapat energi membuat film saat melihat mereka. Walaupun waktu itu aku udah punya Fourcolours dan bikin film juga. Itu yang aku maksud energi tadi, seperti halnya aku semakin mendapatkan energi bersama teman-teman Fourcolours.
Bayu: Apalagi yang bisa kamu ambil dari Edwin?
Ifa: hahaha… Aku pikir hal di atas udah cukup banyak yang aku ambil dari Edwin. Dan sebenarnya aku juga sudah pernah bilang ke dia apa arti seorang Edwin buat aku kok. Hehehe
Bayu: Kalian semesra itukah? Hahaha
Ifa: Hahaha… Tapi tentunya aku juga mesra pada beberapa temen lain yang memang bermain di liga yang sama tadi itu. Kalau aku nggak dengar kabar siapa sedang bikin apa, rasanya aku nggak tenang. Hehehe.. Maksudku, aku juga nunggu karya selanjutnya dari Tooliq (Astu Prasidya, Malang), Eddie (Eddie Cahyono, Fourcolours), dan filmmakers yang lain.
Bayu: Apa kamu dan Edwin selalu ngobrol hal-hal yang serius?
Ifa: Wah, aku malah jarang terlibat pembicaraan serius dengan dia karena memang auranya nggak serius. Hahaha.. Dan aku suka itu. Hmmm… Kita sempat bercanda tentang film-film kita yang “tidak menghibur”. (Ifa merujuk pada film-film Edwin dan filmnya ‘Setengah Sendok Teh’). Kesimpulannya, kita berdua sepakat, “Lha wong kita aja jarang dihibur! Kok disuruh menghibur!” Hahaha..
Bayu: Tapi kalian selalu dapetin sesuatu atau banyak hal kan dari obrolan kalian?
Ifa: Tentu saja! Dan itu yang paling aku suka. Di sela-sela obrolan aku dan dia yang selalu bercanda, pasti ada sesuatu yang setelah itu kita dapet. Ya! Pasti ada “sesuatu”nya.
Bayu: Seperti apa sih kalau kalian berdua saling mengkritik?
Ifa: Wah! Mengkritik sih nggak. Saling mengejek lebih tepatnya! Hahaha.. Belum saatnya aku dan dia saling mengkritik. Atau biarlah itu udah jadi kerjaan orang lain aja. Yang penting saat sekarang kita terus membuat dan membuat.
Bayu: Jadi pengen tahu, apa Edwin pernah testi—atau celoteh sekalipun—tentang film-filmmu?
Ifa: Sering. Tapi aku selalu nggak percaya dengan apa yang dia bilang. Hahaha..
Bayu: Apa tuh?
Ifa: Hahaha.. Aku nggak percaya dengan yang dia bilang…
Bayu: Ayo dong! Publik Indonesia pengen tahu soal kalian. Halah! Hahahaha..
Ifa: Gini, Edwin termasuk orang pertama yang nonton preview ‘Setengah Sendok Teh’. Terus setelah nonton, dia bilang, “Aku mau jualan sandal aja deh! Berhenti bikin film!” Hahahahahahaha…
Bayu: Hahahahaha… Ternyata sampai sekarang Edwin nggak jadi jualan sandal yaaa..
Ifa: Hahaha… Itulah makanya aku bilang kalau Edwin tuh nggak bisa dipercaya! Hahahaha…(*)
Share artikel ini :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. YUYUD CINEMATOGRAPHY - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger