New Post

Blog - All About FILM

Teknik Menulis Skenario | Forum Lingkar Pena

UNDUH BUKU - KOMUNITASFILM.ORG - KOMUNITASFILM.ORG

Mencari Babi Buta di Kebun Binatang: Tentang Film-film Pendek Edwin

Dajang Soembi, Perempoean jang Dinikahi Andjing (2004)
Film-film pendek Edwin mewakili sebuah garis sejarah yang kerap terlupakan. Selama ini, kebangkitan perfilman nasional pasca Reformasi cenderung diasosiasikan dengan tiga film: Kuldesak (1997), Petualangan Sherina (1999), dan Ada Apa Dengan Cinta? (2001). Ketiganya membuktikan kalau orang Indonesia masih bisa buat film, dan lebih pentingnya lagi masih bisa memenuhi gedung bioskop. Sayangnya pembacaan macam ini baru mencakup satu sisi saja: peletakan fondasi industri perfilman. Bagaimana dengan yang berada di luar industri? Bagaimana dengan geliat para pegiat film pendek saat Festival Film-Video Independen Indonesia 1999-2002 dan Festival Film Pendek Konfiden 2006-2009? Bagaimana juga dengan Jakarta International Film Festival dan Festival Film Dokumenter di Yogyakarta yang membuka ruang baru untuk menonton dan mengapresiasi film? Hampir tidak ada catatannya, padahal periode tersebut menjadi saksi mata penjelajahan estetika film sebagai sebuah medium secara besar-besaran oleh sineas-sineas lokal. Edwin salah satunya.
Penjelajahan estetika bukannya tak terjadi di level industri, namun harus diakui skalanya kecil dan tak terjadi dalam intensitas yang sama. Film pendek merupakan lahan bermain yang menyenangkan untuk sineas, baik dalam eksperimen penuturan sinematik maupun pengangkatan isu-isu yang tak lazim dibicarakan di ruang publik. Bebasnya film pendek dari kepentingan pasar dan gunting sensor memungkinkan pembuat film, seperti kata Gotot Prakosa, untuk “mencoba menyusuri jalur lain dari yang sudah ada”.[1]
Jalur lain inilah yang ditempuh oleh Edwin melalui film-film pendeknya. Edwin selalu mendesain filmnya sebagai kolase imaji dan bunyi setengah-fana-setengah-nyata, yang mengusung sejumlah implikasi subversif (setidaknya dalam konteks negeri ini) tentang relasi sehari-hari kita sebagai manusia. Pendekatan serupa turut muncul dalam film-film panjang Edwin. Dapat disimpulkan kalau tumbuh kembang Edwin sebagai seorang sineas (sebagaimana juga Ifa Isfansyah) bermuara dari kiprahnya sebagai pembuat film pendek. Melupakan film-film pendek Edwin sama saja seperti menganggap prestasi cemerlangnya belakangan ini, di antaranya FIPRESCI Award 2009 untuk Babi Buta yang Ingin Terbang dan nominasi Golden Bear Berlinale 2012 untuk Postcards from the Zoo, sebagai berkah dari langit semata.
Tulisan ini ingin mengunjungi kembali bentuk dan motif visual film-film pendek Edwin berdasarkan tema-tema cerita yang pernah ia angkat. Dari sinilah kita bisa memetakan tumbuh kembang Edwin sebagai seorang sineas. Sampai tulisan ini dibuat, Edwin sudah menghasilkan tujuh film pendek: A Very Slow Breakfast (2002), Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing (2004), Kara, Anak Sebatang Pohon (2005), A Very Boring Conversation (2006), Trip to the Wound (2007, bagian dari omnibus 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi), Hullahoop Soundings (2008), dan Roller Coaster (2010, bagian dari omnibus Belkibolang). Karya Edwin lainnya meliputi dua film panjang (Babi Buta yang Ingin Terbang tahun 2008, Postcards from the Zoo tahun 2012) dan tiga dokumenter (Nyanyian Negeri Sejuta Matahari tahun 2006, Misbach: Di Balik Cahaya Gemerlap tahun 2007, Nairobi Notes tahun 2010).
.
A Very Slow Breakfast (2002)
Keluarga adalah Bencana
A Very Slow Breakfast mengawali eksplorasi Edwin terhadap institusi keluarga. Film tersebut memotret tindak tanduk sebuah keluarga ideal ala Keluarga Berencana (satu bapak, satu ibu, dua anak) melalui montase adegan sarapan pagi. Sepanjang film penonton dituntut menghadapi kolase suara, semacam katalog bebunyian domestik, yang didistorsi sedemikian rupa sehingga menciptakan penekanan tertentu untuk masing-masing tokoh.
Film dibuka dengan close-up sebuah cangkir kopi. Ada suara garuk-garuk kepala si anak laki-laki. Setiap bulir ketombe yang jatuh ke cangkir kopi menghasilkan dentuman suara. Cut ke close-up ujung rokok yang sedang dinyalakan si bapak. Gemerisik korek dan ujung rokok yang tersulut api terdengar bergemuruh. Cut lagi ke medium shot anak perempuan sedang senam di depan televisi. Suara tokoh kartun dari sebuah video olahraga pun mendominasi.
Edwin ingin kita memperhatikan suara-suara banal ini. Kenapa? Karena keluarga dalam A Very Slow Breakfast sudah begitu terendam oleh rutinitas, sehingga segala bentuk interaksi menjadi begitu mekanik. Fungsi afektif sebuah keluarga terabaikan, sehingga masing-masing anggota keluarga terlihat asing dengan sesamanya. Hal ini tercermin dari dua hal: ketiadaan dialog sepanjang film dan interaksi bapak-anak yang terjadi dalam konteks timbal balik. Si bapak menyodorkan segepok uang ke anak-anaknya macam bos-bos mafia. Untuk si anak laki-laki, uang menjadi timbal balik atas secangkir kopi penuh ketombe yang diminum si bapak. Untuk anak perempuan, uang menjadi semacam pemantik untuk sejumlah gerak senam yang terlihat erotis, yang disorot dalam gerak lambat oleh Edwin. Semua ini terjadi dalam rentetan adegan yang secara konstan dihiasi oleh sebuah garis diagonal, menempatkan semua anggota keluarga di pojok bawah frame. Seakan-akan ada kekuatan tak terbahasakan yang menekan mereka semua, apapun itu.
Khoo Gaik Cheng menafsir A Very Slow Breakfast sebagai bentuk “alienasi sosial dari keluarga urban kapitalis yang tidak memiliki waktu satu sama lain, apalagi hubungan dekat”.[2] Sementara itu Eric Sasono berpendapat bahwa keluarga dalam film tersebut “memang utuh dalam bentuk, tapi komunikasi mereka adalah semacam mimpi buruk”.[3] Kedua pendapat ini bermuara pada satu benang merah: sebagai sebuah institusi, kata “keluarga” barulah merujuk pada sebuah bentuk kolektivitas. Sayangnya, kata yang sama bukanlah mantra suci yang membebaskan rutinitas keluarga dari segala sifat buruk manusia, termasuk mencegah anggotanya dari berbuat semena-mena terhadap sesamanya.
Ini menarik. Sinema Orde Baru, rezim audiovisual yang mendahului seluruh karya Edwin, mengedepankan keluarga sebagai miniatur negara. Konflik yang terjadi cenderung disulut oleh faktor eksternal. Keluarga dianggap sebagai satu kesatuan yang menghadapi ancaman dari luar, entah itu komunis, kepercayaan sesat, atau demit-demit film horor. Interaksi dalam keluarga sendiri tidak didefinisikan. Tidak heran kalau kemudian ada seperangkat nilai yang kita asosiasikan dengan keluarga Orde Baru: saleh, taat hukum, dan berbudi luhur. Nilai-nilai yang sama ditekankan pihak penguasa pada rakyatnya waktu Orde Baru. Edwin sebaliknya memilih untuk fokus pada internal keluarga terlebih dahulu, mengulik bentuk interaksi macam apa yang bisa mengalienasi anggota keluarga, sebelum akhirnya bergerak ke faktor-faktor di luar keluarga.
.
Kara, Anak Sebatang Pohon (2005)
Kenangan Buruk tentang Masa Sekarang
Tesis tentang keluarga sebagai institusi bermasalah ini Edwin kembangkan dalam dua film pendek berikutnya: Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing dan Kara, Anak Sebatang Pohon. Kedua film tersebut memberi nama untuk kekuatan tak terbahasakan yang menekan keluarga dalam A Very Slow Breakfast. Apabila A Very Slow Breakfast hadir layaknya potongan dari kehidupan sehari-hari sebuah keluarga, Dajang Soembi dan Kara bertutur dalam garis waktu yang terdiri dari pembentukan suatu keluarga, konflik dalam keluarga, dan kehancuran keluarga tersebut. Komposisi plot semacam ini memungkinkan Edwin untuk menginformasikan kepada penonton bagaimana keluarga sesungguhnya adalah sebuah konsep yang pada dasarnya problematis.
Mari mulai dengan Dajang Soembi. Film tersebut merupakan pembaruan dari legenda Sangkuriang yang kita sudah kenal selama ini. Pembaruan ini ada dua macam. Dari segi penuturan sinematik, Dajang Soembi dibuat layaknya sebuah film bisu yang sempat hilang dan ditemukan lagi. Ia didesain dalam warna hitam-putih, diiringi dengan sebuah lagu orkestra, dan disusun dengan teks pengantara (intertitle) dengan huruf zaman kolonial, plus sejumlah cacat visual (goresan di beberapa adegan) yang sengaja diadakan pembuat film dengan merusak seluloid. Dari segi isi cerita, Dajang Soembi menihilkan banyak bagian dari legenda Sangkuriang, dan berfokus pada ketegangan seksual antara Sangkuriang, Dayang Sumbi, dan Tumang (bapak Sangkuriang, manusia setengah dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing).
Sebuah cerita penting bukan saja karena apa yang diceritakan, tapi juga apa yang tidak diceritakan. Dengan meminimalisir legenda Sangkuriang ke tiga tokoh utama saja, Edwin menghadapkan penonton pada fakta bahwa legenda rakyat kita ternyata dipenuhi hal-hal yang sekarang kita anggap menyimpang. Ada bestiality (hubungan seksual dengan hewan), yang mendasari pernikahan Dayang Sumbi dengan Tumang. Ada incest (hubungan seksual dengan insan sedarah), yang memotivasi Sangkuriang untuk membunuh Tumang dan menjadikan Dayang Sumbi sebagai kekasihnya. Ada kanibalisme, yang menjadi klimaks film ketika Sangkuriang mempersembahkan hati Tumang untuk makan malam ibunya. Propaganda Orde Baru tentang keluarga ideal hanyalah rekaan pihak penguasa untuk menutupi kenangan buruk tentang tradisi rakyat kita.
Ungkapan modern dari keluarga bermasalah ini terwujud dalam Kara. Antagonisnya adalah patung Ronald McDonald, simbol kapitalisme abad 20, yang mendadak jatuh menimpa ibu Kara tepat setelah ia melahirkan. Keberadaan patung McDonald ini berimplikasi ganda. Di satu sisi, ia adalah satu-satunya hal yang dapat menembus keluarga ideal yang tergambar di salah satu adegan film: bapak dan ibu Kara memadu cinta di pinggir danau. Dunia-tanpa-orang-tua yang Kara tempati pasca kematian ibunya pun tergambar sama idealnya: perbukitan, pohon-pohon, dan hamparan rumput hijau yang bersih dari lalu lalang manusia. Indah macam taman firdaus. Apabila pergantian figur ibu dengan patung Ronald McDonald tidak mengubah lingkungan nyaman yang Kara tinggali, berarti kapitalisme sesungguhnya sudah cukup kuat untuk menggantikan figur orang tua. Berarti kita semua adalah anak-anak McDonald.
Di sisi lain, kelahiran Kara adalah kematian ibunya. Pelakunya adalah patung Ronald McDonald ini. Kara tak bisa melupakan kenangan buruk tentang suatu hal yang memungkinkannya berada di masa sekarang. Kalau mau balas dendam, berarti kapitalisme itu sendiri yang harus diruntuhkan. Mungkinkah?
Edwin menggambarkan misi balas dendam Kara di pertengahan kedua film, di salah satu cabang McDonald, dengan kamera handheld. Visual film mendadak kasar dan bergoyang-goyang, kontras dengan kenyamanan yang terlukis di pertengahan pertama film. Kara menghantam patung Ronald McDonald dengan parang panjang, namun kapitalisme hanya bergeming. Kejadian tersebut didahului oleh sebuah montase berisikan shot para pengunjung McDonald yang melihat Kara. Ada jarak, ada ketidakacuhan akan konfrontasi Kara. Tersirat sebuah pemahaman bahwa semuanya akan berakhir sia-sia. Benar saja. Kara duduk lunglai di sebelah musuh abadinya, menyedot minuman yang ditawarkan salah seorang pengunjung McDonald. Mau tak mau ia harus mengakui kalau dirinya juga keturunan kapitalisme modern.
.
A Very Boring Conversation (2006)
Hasrat dalam Bejana Kaca
A Very Boring Conversation menandai penjelajahan Edwin ke unit bahasan yang lebih mendasar: hasrat antara laki-laki dan perempuan. Menariknya, Edwin mewujudkannya melalui sebuah kerangka visual. Satu pola yang konstan berulang: tokoh laki-laki selalu berada di posisi pengamat, sementara tokoh perempuan sadar bahwa dirinya diamati dan bertindak demikian. Keduanya terhubung secara erotis bukan lewat sentuhan, tapi saling silang pandangan.
Pendekatan Edwin ini mengingatkan akan tesis John Berger, tentang budaya visual manusia yang cenderung menempatkan laki-laki dan perempuan dalam lapangan bermain yang berbeda. Artefak macam lukisan, foto, dan film kebanyakan dihasilkan subjek maskulin, sementara objeknya adalah perempuan.[4] Ini telah terjadi secara berulang-ulang dalam peradaban manusia, sehingga sudah menjadi bagian dari alam bawah sadar kita. Ketika seorang perempuan lahir ke dunia, maka ia juga lahir ke tatapan para laki-laki. Bukankah banyak orang tua yang berpesan pada putrinya agar bertindak sopan dan berpakaian rapi supaya terlihat pantas di hadapan orang-orang, terutama laki-laki? Implikasi sosialnya: melihat (dan menonton) menjadi kegiatan yang politis secara seksual. Laki-laki mengamati dan perempuan mengamati dirinya diamati.
Dalam A Very Boring Conversation, dialektika laki-laki dan perempuan berbasis pandangan ini terwujud dalam affair Andit dan Eva, seorang remaja laki-laki dengan ibu pacarnya. Mereka dipertemukan oleh janji untuk mendengar komposisi musik gubahan pacar Andit. Di awal film, keduanya mendengarkan musik itu bersama lewat sebuah headphone, sembari bercakap-cakap tentang eksplorasi sensasi indrawi lewat seni. Percakapan ini banal dan sesungguhnya tak penting, karena pada waktu bersamaan Eva lebih asyik menatap mangkok di depannya, menyedot setiap jengkal mie dengan erotis. Eva berada di kanan frame, sedikit lebih maju daripada Andit. Edwin seakan-akan meminta penonton untuk mengambil posisi Andit sebagai pengamat Eva, pusat perhatian sesungguhnya dalam sekuens pembuka ini.
Ketegangan seksual keduanya semakin meninggi seiring berjalannya film. Setelah keduanya mengamati lampu yang terkedip tanpa sebab dan mengadakan pelajaran singkat membuat akun email, Eva mengaku pada Andit bahwa dia dulunya pramugari Garuda. Andit menantang Eva untuk membuktikannya. Jadilah Eva memperagakan prosedur keselamatan sebelum lepas landas. Sembari diterangi lampu terkedip tadi, kamera menyorot detail-detail tubuh Eva, sesekali memposisikan kepala Eva di luar frame. Apa yang sejatinya peragaan prosedur keselamatan jadi terlihat seperti pelajaran dan ajakan seksual perempuan dewasa ke seorang jejaka muda. Suara hujan terdengar kian deras di luar. Ketika lampu akhirnya mati dan tak lagi memungkinkan adanya saling pandang, Eva berseloroh, “Rokok deh. Semoga nggak banjir ya.” Boleh jadi ini adalah salah satu dialog paling mesum sepanjang sejarah perfilman Indonesia.
Pengungkapan yang sama simboliknya terjadi dalam Hulahoop Soundings. Film tersebut merupakan balada tentang phone sex, suatu kegiatan yang Edwin umpamakan melalui permainan hulahup. Secara visual, ini menghasilkan pemandangan dua perempuan yang menggoyang-goyangkan pinggul, demi mata dan kepuasan seorang laki-laki. Secara aural, ini menyebabkan suara desing putaran hulahup secara ritmik, layaknya nafas seorang pecinta yang sedang sanggama. Kembali motif lampu terkedip muncul. Kejadiannya menjelang akhir film, bersamaan dengan akhir hubungan si laki-laki dan gadis panggilan pujaannya itu. Pandangan tak lagi memungkinkan dan si gadis pujaan hilang begitu saja.
Pengungkapan yang lebih sederhana terwujud dalam Roller Coaster. Ceritanya bermula dari sebuah janji di kamar hotel. Atas dasar pertemanan mereka selama ini, seorang perempuan mengajak seorang laki-laki untuk bermain. Peraturannya: mata keduanya ditutup, lalu bergantian melepas satu demi satu pakaian sesamanya. Ketika keduanya sudah sama-sama bugil, si laki-laki membuka tutup matanya, si perempuan tidak. Si perempuan tak siap untuk menjadi pengamat lawan jenisnya. Pola relasi seksual yang dirumuskan Berger pun semakin dilanggengkan.
.
Trip to the Wound (2007)
Identitas Diri yang Nisbi
Apabila dirangkum, film-film pendek Edwin berhulu pada wacana tentang identitas diri yang nisbi, yang secara absolut akan selalu relatif dan terus-menerus ditulis ulang dalam hubungan-hubungan sosial yang dijalani. Ini penting, mengingat sepanjang Orde Baru kita mendapati banyak produk sinematik yang berusaha mencangkokkan ide tentang apa dan siapa itu “manusia Indonesia”, sesuai dengan kepentingan penguasa tentunya.
Edwin menempuh jalur lain. Ia kembalikan perumusan identitas diri ke manusia itu sendiri dalam relasi sehari-harinya. Apa yang selama ini beredar di lingkaran sosial belum tentu sesuai dengan yang ada di lingkungan personal. Di tiga film pendek pertama Edwin, kita mendapati identitas diri yang diformulasikan melalui relasi dalam keluarga, sesuai dengan kepentingan dan posisi kuasa masing-masing anggota keluarga. Dalam tiga film pendek lainnya, kita mendapati relasi seksual antara lawan jenis, dalam konteks budaya visual manusia yang lebih memihak salah satu. Identitas diri manusia akan selalu relatif dan tak pernah utuh, karena pada akhirnya selalu bergantung pada orang lain, bukan diri sendiri. Sebutlah ini filsafat eksistensialis dalam kemasan pendek nan sinematik.
Dalam Trip to the Wound, Edwin memperluas eksplorasinya tentang identitas manusia ke ranah trauma sosial. Dibuat di sebuah perjalanan bus ke Surabaya sebelum syuting Babi Buta yang Ingin Terbang, Trip to the Wound bercerita tentang interaksi sepasang laki-laki dan perempuan. Si perempuan membuka film dengan menyapa si lelaki dan bertanya tentang luka di pundaknya. Belum juga si lelaki menjawab, si perempuan lanjut menyerocos tentang luka-luka yang ia temui di orang-orang terdekatnya. Setiap luka pasti punya cerita, begitu kesimpulan si perempuan. Si lelaki lupa tentang cerita di balik lukanya. Si perempuan sebaliknya tak bisa membahasakan lukanya, yang coba dicari oleh si laki-laki dengan meraba-raba selangkangan si perempuan. Ia hanya bisa menatap ke kamera dan menangis. Sentuhan yang seharusnya mendekatkan malah menjauhkan keduanya dalam kegetiran yang tak bisa dibahasakan. Ketika Trip to the Wound diputar bersama sembilan film pendek lainnya di 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi, tercipta rujukan bahwa kegetiran tak terbahasakan yang dirasakan si perempuan adalah tragedi pemerkosaan perempuan-perempuan etnis Cina tahun 98 silam.
Trip to the Wound menjadi intro yang menarik untuk menonton dua film panjang Edwin. Trauma sosial perihal diskriminasi warga keturunan Tionghoa dikembangkan menjadi format film panjang dalam Babi Buta yang Ingin Terbang. Dapat dilihat bagaimana tokoh-tokoh dalam film itu begitu teralienasi, tidak saja dari sesamanya tapi juga dirinya sendiri. Ada seorang dokter yang sengaja melukai matanya sendiri, pemain bulutangkis yang dipertanyakan kewarganegaraannya, dan lelaki Manado yang sering dikeroyok waktu kecil. Masalahnya sama: mata mereka sipit dan lingkungan mereka tak bisa menerimanya. Potret alienasi kian diperkuat oleh struktur film yang fragmental, terpilah dalam bagian-bagian, seakan-akan ada sekat imajiner yang mengungkung tokoh-tokoh tersebut. Dalam Postcards from the Zoo, Edwin merenungkan sentuhan manusia dalam wujud visual. Ia menghadirkan seorang perempuan yang lahir dari kondisi tanpa keluarga, tumbuh besar di kebun binatang, dan tak pernah mengalami kontak manusia sepanjang hidupnya. Sialnya, satu-satunya sentuhan murni yang dia rasakan berasal dari makhluk setengah-manusia-setengah-dewa, yakni seorang pesulap berkostum koboi yang bisa muncul dan hilang sesuka hati. Sentuhan yang ia rasakan dengan manusia normal selalu berujung pada tiga kemungkinan yang sama tak enaknya: artifisial, eksploitatif, atau berbasis kepentingan ekonomi.
Kesimpulan setelah menonton tujuh film pendek dan dua film panjang Edwin: mencari kepastian jati diri sama saja seperti mencari babi buta di kebun binatang. Sia-sia dan tak masuk akal.
.

Referensi
[1] Gotot Prakosa. 1982. Investasi Besar untuk Film Pendek, dalam Kamera Subyektif Rekaan Perjalanan Dari Sinema Ngamen ke Art Cinema, disunting oleh Gotot Prakosa. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Seni Visual Indonesia, 2006, halaman 47.
[2] Khoo Gaik Cheng. 2011. Menyoroti Film-Film Edwin, dalam Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?, disunting oleh Khoo Gaik Cheng dan Thomas Barker. Jakarta: Salemba Humanika, 2011, halaman 167.
[3] Eric Sasono. 2008. Katalog Keluarga Milik Edwin. Diakses 17 Maret 2012 di situs Rumah Film.
[4] John Berger. Ways of Seeing. London: Penguin Book, 1977, halaman 63.
.
Artikel ini ditulis dalam rangka acara Bulan Film Nasional 2012 (15-31 Maret) yang diselenggarakan oleh Kineforum.
Kineforum




.

Fred Cavayé: Film Haruslah Mudah Dikenali Penonton

Wawancara oleh Adrian Jonathan Pasaribu
Sebagai nama baru di sinema Prancis, Fred Cavayé sejatinya sudah punya reputasi mendunia. Salah satu penyebabnya adalah The Next Three Days karya Paul Haggis. Film tersebut merupakan adaptasi Hollywood dari film pertama Cavayé, Pour Elle (Anything for Her), yang dirilis tahun 2010 silam. Di tahun yang sama, Cavayé merilis film panjang keduanya, Á bout portant (Point Blank).
Cinema Poetica mendapat kesempatan wawancara dengan Cavaye 8 Desember 2011, di acara Rendezvous with French Cinema, Singapura. Selama dua puluh menit, Cavayé bercerita sekilas tentang teknik bercerita, pendekatannya ke medium film, dan rencananya ke depan.
.
Dari dua film Anda, Pour Elle dan Point Blank, ada dua pola yang saya lihat. Pertama, Anda selalu meletakkan orang biasa ke dalam situasi-situasi heroik. Di Point Blank, ada seorang perawat yang mendadak harus menggunakan pistol untuk menyelematkan istrinya. Di Pour Elle, pola yang serupa terjadi.
Pada dasarnya, saya suka melihat orang biasa terjebak. Dalam kondisi tersebut, ia harus melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa untuk menyelesaikan masalah. Saya jelas bukan yang pertama membuat cerita macam ini. [Alfred] Hitchcock dulu juga buat cerita seperti itu. Ada karakter the boy next door, mister nobody, orang-orang biasa. Karakter-karakter seperti itu yang penonton bisa kenali dengan mudah. Rasanya dekat. Penonton akan lebih mungkin mengidentifikasi dirinya dengan mister nobody ketimbang James Bond. Buatku, film haruslah mudah dikenali penonton, dan film seperti itulah yang saya usahakan buat.
.
Pola lainnya yang saya lihat: protagonis kedua film Anda adalah “suami baik-baik”, yang siap melakukan apa saja demi kekasihnya.
Betul sekali. Film-filmku aslinya adalah cerita cinta, bukan action-thriller. Itu hanya kemasannya saja. Jujur saja, saya senang membuat orang banyak lari. [Tertawa] Begitulah caraku bercerita. Saat saya sudah punya cerita untuk protagonisku, saya harus membuat dia berlari. Hanya dengan begitu ceritaku bisa bekerja. Dan buatku, cara terbaik untuk membuat seseorang berlari adalah dengan memaksanya menyelematkan orang yang paling ia kasihi di muka bumi ini. Cinta, elemen paling dasar dari segalanya. Elemen yang baik untuk menarik perhatian penonton mengikuti protagonis. Elemen yang baik juga untuk membuat protagonisku melampaui kehidupan sehari-harinya.
.
Melihat dua pola tersebut, saya penasaran: bagaimana Anda biasanya menyusun naskah? Apakah Anda memikirkan karakter atau kejadian terlebih dahulu?
Saya belum pernah menulis naskah sendiri. Selalu ada co-writer: Guillaurme Lemans. Jadi setiap naskah filmku sebenarnya adalah hasil kerja sama kami berdua. Kami biasanya memulai dengan sebaris kalimat, dan kami tambahkan apapun, mengembangkannya hingga penonton terpukau dan ikut tegang dengan segala kejadian cerita. Kalau saya tak salah ingat, naskah Pour Elle awalnya adalah kalimat ini: “Cari seorang karyawan kantoran, taruh istrinya ke dalam penjara, walaupun tidak ada salah apa-apa, lalu buat sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan keluar kecuali kabur dari penjara.” Begitulah. Untuk Point Blank: “Istri sedang hamil, diculik, kemudian suaminya lari selama satu setengah jam untuk menyelematkannya.” Iya, Point Blank sesederhana itu. [Tertawa]
.
Dalam Point Blank, adakah kesulitan dalam memasukkan seorang perempuan hamil ke dalam banyak adegan laga? Pernahkah Anda mendapat komplain tentang hal tersebut?
Penonton ketakutan. Atau setidaknya begitu, menurut beberapa orang yang melapor ke saya. [Tertawa] Sebenarnya, supaya kamu tahu, aslinya saya tidak ada niat memasukkan karakter perempuan hamil ke dalam cerita. Dalam draft-draft awal tidak begitu. Sampai kemudian co-writer saya bilang begini, “Akan sangat gila kalau perempuan ini hamil.” Kebetulan, istri dia juga sedang hamil. Saya pun berpikir, sesuatu yang gila ini bisa menjadi sesuatu yang bagus. Akhirnya saya ubah ceritanya. Masuk karakter perempuan hamil, hanya untuk membuat ceritanya lebih ketat, lebih menegangkan. Pengaruhnya ganda: adegan laga dan perempuan hamil. Gabungan keduanya menjadikan Point Blank hiburan yang menarik.
Salah satu adegan dalam Point Blank (2010)
Saya dengar Anda sebelumnya seorang fotografer.
Iya.
.
Apa yang membuat Anda tertarik dengan sinema?
Untuk waktu yang lama, saya berusaha membangun karierku lewat fotografi. Tapi kemudian saya merasa fotografi tak menarik lagi. Apa yang saya mau lakukan ternyata adalah bercerita. Saya tak bisa melakukan itu dengan foto saja. Namun sinema adalah medium berbeda. Butuh kerja sama. Sinematograferku aslinya adalah seorang fotografer. Dia sudah bekerja dengan banyak sutradara, dan dia jelas sejuta kali lebih baik dalam fotografi ketimbang saya. [Tertawa] Karena sering kerja sama dia, saya menyadari bahwa sutradara film itu seperti kondektur. Untuk menjadi kondektur yang baik, kamu harus bekerja dengan banyak musisi yang baik pula. Untuk menjadi sutradara film yang baik, kamu harus bekerja dengan sekelompok aktor dan teknisi yang baik pula. Semua orang harus membantu sesamanya.
.
Saya melihat cerita-cerita yang Anda tulis berisikan karakter-karakter yang moralitasnya ambigu. Tidak hitam, tidak putih. Tidak pernah ada sikap yang jelas, kecuali kepentingan pribadi. Apakah Anda juga mengambil inspirasi dari film noir?
Saya terpengaruh oleh film-film Prancis dan Amerika. Dalam menulis, saya terpengaruh oleh trilogi Jason Bourne. Menurut saya, film-film itu yang membuat action-thriller tidak pernah sama lagi. Saya juga suka film-film [Jean-Pierre] Melville. Jadi, kurang lebih saya terpengaruh oleh keduanya. Ditambah dengan semua film-film polisi dan detektif yang pernah saya lihat, kebanyakan Hollywood, beberapa Prancis. Jadi, akan sangat ironis kalau Point Blank nantinya dibuat ulang oleh Hollywood. Sudah ada beberapa tawaran sebenarnya dari beberapa studio di Amerika. Saya yang disarankan menyutradarai remake-nya. Jadi ironis karena Point Blank adalah film Prancis yang terpengaruh oleh Hollywood. Saya adalah sutradara film Prancis yang sangat terpengaruh Hollywood. Sementara Hollywood meminta saya membuat ulang film Prancis rasa Amerika itu menjadi film Amerika. Itu baru namanya lingkaran setan. [Tertawa]
.
Bagaimana pendapat Anda tentang The Next Three Days? Apakah Anda merasa pendekatan yang diambil sudah pas atau malah terlalu Hollywood?
Sebenarnya, buat saya, apa yang terjadi pada saya melalui The Next Three Days adalah sebuah dongeng. Pour Elle adalah film pertama saya, dan tiba-tiba sineas berbakat seperti Paul Haggis membuatnya ulang. Saya tersanjung. Saya bisa bilang dia berbakat, karena The Next Three Days memiliki sejumlah adegan yang saya harap saya tulis sebelumnya. Penulisan ulang yang Haggis lakukan sangat baik. Salah satunya adalah adegan Russell Crowe dan Elizabeth Banks di penjara. Sangat menarik bisa melihat hasil karyamu sendiri diceritakan ulang dengan cara yang berbeda, dengan pemain yang berbeda.
.
Jadi, selain remake Point Blank, apa yang bisa kami antisipasi dari karya Anda selanjutnya? Apakah Anda akan membuat action-thriller seperti Pour Elle dan Point Blank lagi? Atau sesuatu yang berbeda?
Untuk sementara waktu, kurang lebih sama. Saya sedang menulis sebuah cerita polisi dan detektif. Saya harap tahun depan sudah mulai produksi. Sebenarnya, lebih banyak detektifnya daripada polisinya. Ceritanya tentang penebusan dosa seorang laki-laki.
.
Sepanjang wawancara ini, saya mendengar Anda menyebut “polisi” dan “detektif” beberapa kali. Menarik. Ada ikatan apa sebenarnya Anda dengan kedua profesi itu?
Sewaktu kecil, saya biasa bermain polisi-polisian (cops and robbers). Saat saya sudah dewasa, satu-satunya cara untuk bertahan di industri film adalah dengan tetap menjadi anak kecil, bukan? [Tertawa]

sumber : http://cinemapoetica.com

Kekhasan Bentuk Film Pendek

film-pendek-ismail-basbeth_highlight
Salah satu adegan Ritual
Ada beberapa orang yang gemar sekali membuat film pendek. Entah karena kesempatan membuat film panjang belum jua datang, atau karena film pendek memang benar-benar menantang. Soalnya ramai beredar kesan bahwa sebenarnya, dari segi penuturan, film pendek hanyalah film panjang yang dipendek-pendekkan. Film pendek ada karena pembuat film bernafsu sekali ingin bikin film tapi tak ada yang sudi mendanai. Film pendek juga kerap dianggap sebagai medium cari perhatian para pembuat film amatir sebelum ada satu dua orang dari industri arus utama yang tertarik mendanai proyek film panjang mereka. Apapun alasannya, film pendek tetaplah medium yang sah. Sejak pertama kali ramai dibuat di sekitar tahun 1998, film pendek telah menjadi media tutur paling jujur dan polos dari pembuat film. Ia tak terlalu memusingkan kapital, tak terlalu memusingkan roda pemasaran, bahkan kadang tak ingat bahwa film sejatinya dibuat untuk penonton. Banyak pembuat film pendek yang membuat film hanya untuk diri mereka sendiri. Apakah sah? Tentu saja.
Berkelindan dengan gejala-gejala itu, seorang kawan pernah berujar, “Bila mau lihat film Indonesia, lihatlah film pendek.” Pendapat tersebut ada benarnya. Terlepas dari niatan pembuat film, film pendek tetaplah patut dilihat dari kekhasan cara bertuturnya. Sebelumnya Cinema Poetica pernah mengungkit sekelumit tentang BW Purbanegara, seorang sineas film pendek dari Yogyakarta. Kali ini Cinema Poetica akan coba menjelajahi sekubit karya sineas film pendek yang juga berasal dari Yogyakarta, Ismail Basbeth. Lewat empat film pendeknya, saya rasa penting menggaris bawahi karya-karya Basbeth karena usahanya untuk terus menerus menginvestigasi kekhasan cara tutur film pendek. Singkatnya, film-film pendek (terutama dua yang terakhir) berusaha mati-matian untuk membunuh anggapan bahwa film pendek adalah film panjang yang dipendek-pendekkan. Karya-karya ini berusaha menasbihkan bahwa film pendek adalah medium yang merdeka dari panjajahan film panjang.
Film pertama Basbeth yang ditayangkan ke publik adalah Hide and Sleep (2008), bercerita tentang seorang lelaki kribo yang suatu pagi bangun dan tiba-tiba mendapatkan beberapa perempuan tidur di sampingnya. Semacam cerita pasca mabuk semalam dimana kejadian tiba-tiba sudah mencapai akhirnya tanpa si protagonis menemukan pangkal berangkatnya. Terlebih lagi, si protagonis sebenarnya sudah punya pacar. Terlebih lagi, yang datang membangunkannya pada pagi hari, ketika ia masih tertidur lelap di ranjang kos-kosan bersama para perempuan obskyur itu, adalah si pacar. Hide and Sleep tentulah sebuah cerita psikologis, selain protagonis yang merasa mabuk dan kacau-ingatan, ambang pandang kamera juga terkesan pusing dalam tangkapan-tangkapan gambarnya.
Hide and Sleep berisi banyak shot-shot terpisah, dengan sudut kemiringan mencolok, yang sedari awal menandai bahwa ada yang salah di kamar kos-kosan ini. Salah satu yang paling menarik adalah shot ikan hias dalam bejana. Setiap kali kerisauan si kamera dan si karakter mulai bercabang dan saling tabrak, tensi akan diturunkan dengan menampikan kembali si ikan hias di layar. Tenang sejenak, mood karakter dan kembali kembali ditabrakkan kesana kemari. Film ini bertumpu pada cerita sederhana, yang membuatnya menarik adalah psikologi kamera. Tanpa shot-shot yang risau, impresi serupa tak akan bisa ditangkap para pemirsa.
Film kedua yang Basbeth buat adalah dokumenter pendek Harry van Yogya, tentang seorang tukang becak yang melek teknologi. Ia menggaet pelanggan lewat jejaring sosial Facebook. Sosok Harry van Yogya ini sempat terkenal di Yogyakarta sebab ia pernah diliput salah satu stasiun televisi. Harry van Yogya berusaha mencerna lebih dekat, siapa sebenarnya Harry, bagaimana pandangan pribadinya terhadap nasibnya sendiri dan nasib orang-orang di sekitarnya.
Sebagai dokumenter, Harry van Yogya tidak menawarkan apa-apa kecuali cerita tentang seorang tukang becak yang melek teknologi. Lewat premis utamanya, film ini tentu saja ingin memotret sekelumit bukti bahwa profesi kelas bawah tidak selalu berarti bahwa penyandang profesi tersebut adalah orang yang tidak melek sekitar. Anggapan “tukang becak adalah orang yang pandir” adalah stereotip yang beresiko. Premis ini sangat sesuai dengan kondisi sosial Yogyakarta dimana tukang sapu jalan kadang lebih melek politik daripada mahasiswa ilmu politik. Penjual kain meteran lebih fasih berbahasa Inggris dibanding mahasiswa jurusan pariwisata. Selalu ada anomali yang hangat di Jogja, dan itu yang berusaha ditampilkan oleh Harry van Jogja.
Usaha melawan stereotip itu kemudian ditampilkan di film dalam korelasinya dengan gambar dan suara. Sepanjang film, unsur visual selalu berkisar pada kegiatan sehari-hari Harry: mengantar penumpang, mandi di sumur, bermain Facebook, dan sebagainya. Sementara unsur audionya merekam suara Harry yang sedang menyampaikan pandangan-pandangannya tentang dinamika politik di Indonesia: korupsi, rakyat kecil yang terlantar, dan mental yang seyogyanya dimiliki para pemimpin. Korelasi audiovisual ini sekali lagi membuktikan bahwa Harry van Yogya berusaha untuk melawan stereotip yang berpendar di sekitar kelas sosial dan kapabilitas personal. Bagi Harry van Yogya, tak ada rumus stabil antara keduanya.
Lompatan besar dalam visi artistik Basbeth terlihat pada film ketiganya, Shelter. Film ini pernah diputar di Rotterdam International Film Restival dan tahun ini akan ikut berkompetisi di Vladivostok International Film Festival. Sebelum Shelter, Basbeth pernah memprakarsai One Shot Project (ulasan tentangnya bisa disimak di sini), sebuah karya kolektif yang berisi beberapa video pendek yang hanya dibangun oleh satu shot tanpa putus. Shelter juga tertular oleh visi tersebut. Shelter berpusar pada momen ganjil yang tak terjelaskan. Seorang lelaki berusaha mencumbui perempuan yang duduk di sampingnya dalam bus kota. Waktu tampak sudah larut malam, bukan lagi jam normal di mana bus kota masih beroperasi. Seolah tak peduli dengan nafsunya yang setengah-setengah dan nafasnya yang terengah-engah, sang lelaki terus saja mencumbu dan mencumbu. Tak adakah penumpang lain? Siapa peduli. Anehnya, sang perempuan tak memberi respon sedikitpun. Satu saja kesan yang diuarkannya: ia seperti sedang diganggu oleh sesuatu dalam pikirannya.
Shelter tampak sirkular dalam modus penceritannya. Cerita tentang nafsu dan ketidaknymanan diceritakan lewat satu shot di tempat yang sama. Film kemudian didominasi oleh adegan grepe-grepe sepihak yang mengundang kerut dahi. Lelaki tak tahu diri mencumbui perempuan yang tak peduli. Dalam atmosfir yang sedemikian mengambang, pijakan moral-seksual kemudian tak diizinkan masuk. Jangankan menjawab siapa yang benar dan siapa yang salah, kita bahkan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seiring berjalannya film, Shelter kemudian menepuk ringan bahu penontonnya seperti sambil seraya berujar, “Lihat kan?  kamu selalu berusaha mencap sesuatu bahkan sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Shelter memeragakan lompatan-lompatan gigantis yang terjadi justru ketika ceritanya berkisar pada keberulangan dan kebosanan.
Dalam film pendek terbaru Basbeth, Ritual, sepasang kekasih hanya saling bertukar kata setiap habis bercinta di kamar hotel yang sama. “Kamu lapar? Aku pesan makanan, ya.” Begitu saja berulang-ulang. Kamera pun menempati posisi yang sama yakni semacam kamera CCTV berlensa cembung di sudut ruangan. Selain sudut pandang kamera itu, satu kamera juga ditempatkan di lobi hotel untuk merekam taksi yang datang membawa sang pacar. Adegan bercinta, adegan bertukar kata, dan adegan taksi datang berulang-ulang memasuki layar sampai menguarkan kesan bahwa Ritual masih mengemban misi yang sama dengan Shelter : mengeksplorasi sesuatu dari lingkar keberulangan.
Satu penanda penting pada Ritual adalah posisi kamera yang menyerupai kamera CCTV. Sinema yang senentiasa berkelindan dengan ide-ide tentang voyeurisme diangkat kembali oleh Ritual. Tak ada orang di samping kamu bukan berarti tidak ada yang melihat kamu. Bisa saja mereka sedang menonton santai dari ruang sebelah. Tren penggunaan sudut pandang CCTV dalam sinema mengkonfirmasikan kembali apa yang ditulis Paul Virilio dalam bukunya War and Cinema yang kurang lebih berpremis, “Di medan perang, tak adanya musuh di samping kamu bukan berarti tak ada yang mengintai kamu, bisa jadi mereka sedang menonton santai dari kamera radar di sebuah menara kontrol, atau dari kokpit sebuah pesawat tempur.” Dalam catatan Virilio (yang kebetulan menjadikan Perang Dunia sebagai studi kasusnya), pemegang kamera adalah pemegang kuasa dimana ia bisa melihat apa saja yang ingin mereka lihat.
Menariknya, dalam Ritual, penonton (yang secara posisi menduduki sudut pandang pemegang kamera) ternyata tidak bebas melihat apa saja yang ingin ia lihat. Basbeth bermain dengan ritme, semakin ke belakang, keberulangan semakin dipangkas menjadi pendek dan semakin pendek. Ritme film bergerak dalam arus dekreskendo. Alih-alih menikmati kenyaman melihat, penonton justru diganggu oleh ritme ini dan kemudian dibimbing untuk mempertanyakan sesuatu yang lain, sesuatu yang juga muncul dalam Shelter: apa yang tergali dari kebosanan dan keberulangan? Gaya penyuntingan dalam Ritual sedemikian rupa bangkit melawan kenyamanan penonton dalam melihat. Berbeda dengan fungsi sosial-profesional CCTV sehari-hari yang biasanya dioperasikan sekehendak kuasa para staf keamanan, posisi kamera CCTV dalam Ritual hanya terinspirasi, dan adalah murni eksplorasi estetis yang bangkit memperingkatkan bahwa pemegang kamera ternyata bukan pemegang kuasa. Gaya penyuntingan yang digunakan untuk menciptakan ritme dalam Ritual adalah hal yang paling menarik dalam film ini.
Bagi saya, film-film Basbeth yang paling patut dicatat adalah Shelter dan Ritual. Kedua film inilah yang paling sukses  menjelajahi kekhasan cara bertutur film pendek. Cara penuturan dalam Shelter dan Ritual hanya paten dilakukan dalam film pendek dan niscaya akan nihil bila dilakukan dalam film panjang. Selain film Percakapan Ini karya Ifa Isfansyah (yang termasuk dalam film omnibus Belkibolang), saya rasa Shelter dan Ritual adalah dua hasil penggalian yang paling orisinil dalam khazanah penuturan film pendek Indonesia dalam dua tahun terakhir. Percakapan Ini membentuk narasi elips sempurna di mana film dimulai dan diakhiri pada titik waktu yang sama, sementara Ritual membentuk narasi segitiga sempurna di mana detil kejadian berulang semakin tidak perlu diceritakan tetapi justru semakin melahirkan penanda-penanda baru. Seiring kejadian berulang, semakin banyak gambar yang hilang, semakin banyak pula yang bisa dipahami pemirsa.

sumber : http://cinemapoetica.com

Wawancara Ismail Basbeth

Intimate Session With Ismail Basbeth

Written by Wardhana, 18 September 2012
Sutradara nyentrik ini dikenal dengan karya-karyanya yang out of the box, berasal dari Wonosobo, pria kellahiran tahun 1985 ini  sempat menekuni musik tradisional di STSI Bandung dan ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta.
Pada  14 September lalu, freemagz.com berkesempatan mewawancarai Ismail Basbeth di tengah-tengah pemutaran film yang bertajuk “Who The F*** Is Ismail Basbeth?” di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.

Anda lebih dikenal sebagai sutradara film pendek, alasan Anda terjun dalam dunia film pendek ini apa? Mengingat Anda memiliki latar belakang pendidikan Musik Tradisonal dan Ilmu Komunikasi.

ISMAIL BASBETH: Sebenarnya film pendek itu ketemunya lucu, film ya bukan hanya film pendek. Karena Saya juga buat film panjang tapi bukan sebagai sutradara, awalnya itu saat tahun 2004 saat masih di kota Jogja.


Dari sumber situs yang pernah Kami baca, semua inspirasi film pendek Anda dari kota Jogja. Di Jogja ada apa saja memang?

ISMAIL BASBETH: Itu masalah timing, Saya pindah ke Jogja dari sekolah musik tradisional di Bandung karena gak betah lalu saya membuat band bareng teman-teman Saya dan setelah sekian lama saya merasa “Kok gini-gini saja ..” lalu saya putuskan untuk kerja saja di rental DVD milik teman yang sempat menjuarai FFI kategori film dokumenter panjang. Saya kerja jaga rental dan bayar 125 ribu, jadi saya belajar lewat komputer yang dia punya dan filmnya banyak sampai kesetanan saya nonton film sehingga energi membuat film mulai terbentuk, pada akhirnya pada fase 2004 sampai 2008 saya bikin film yang masih niru, saya sering bilang film-film tersebut film kelas nol yang saya buat.


Kalau meniru, berarti ada influence-nya dong?

ISMAIL BASBETH: Langsung malah, bukan hanya influence, meniru langsung jadi tokohnya jelas. Seperti saat saya dekat dengan seniman video namanya Ipunk, dia membuat karyanya menarik dan saya sering merespon karya dia hingga akhirnya saya meniru film-film yang dia buat. Kalau di Jogja prosesnya bareng, sesama komunitas bisa tukeran energi jadi saling bantu.


Jadi awalnya Anda tidak ada basic membuat film?

ISMAIL BASBETH: Saya sekolah di advertising, tapi sampai saat ini saya belum buat iklan (tertawa). Jadi otodidak saja bareng temen-temen seperti Damar, temen-temen yang senang sama film dan develop sendiri energinya ternyata saya lebih seneng buat film daripada edit misalnya.


Apakah Anda setuju dengan anggapan sineas film-film pendek saat membuat film salah satu tujuannya untuk mencari perhatian produser untuk mendanai film-film yang sineas rencanakan?

ISMAIL BASBETH: Logika itu ada, ada yang menggunakan film pendek untuk menuju tahap selanjutnya, tapi untuk saya tidak seperti itu, proses saya lebih organik jadi saat membuat film pendek saya memiliki pemikiran “Mau bikin film panjang gimana? Cara bikin film aja gak tau” jadinya daripada buat film-film yang panjang, buat film pendek saja yang hanya sepanjang lima menit atau lebih, karya saya juga ada yang pendek karena sesuai kebutuhan. Film pendek dan film panjang atau dokumenter dan fiksi itu selalu dibedakan tapi bagi saya nggak penting, mungkin untuk pemetaan pada penonton penting bagi programmer dan distributor, tapi bagi seniman nggak penting.

Ada cerita atau kesan-kesan yang nggak bisa panjang atau ada yang memang harus panjang, dalam membuat film harus seorganik itu, cerita yang panjang jangan dipendek-pendekkin, cerita yang pendek jangan dipanjang-panjangin. Untuk tahu itu, harus butuh proses dan melakukan kesalahan. Tidak ada produser yang memberikan uang untuk membuat film lalu membuat kesalahan sendiri. Karena proses seorganik itu, saya kerja pada tahun 2008 saya harus buat film yang inisiasinya berawal dari saya yang berjudul “Hide and Sleep, saya melakukan pemutaran film seperti ini karena saya yang mau, saya punya PH Hide Project Indonesia dan punya partner Suryo Adi Wiyoko Karena proses dan bertemannya dengan saya bareng, hubungannya bukan sutradara dan produser, hubungannya pertemanan.

Karena saya lebih siap menyutradarai dan punya cerita jadinya dia yang mengurus segala sesuatunya. Jadi nggak ada pertimbangan dan sama-sama suka film, saat itu tidak ada pikiran untuk membuat film panjang tapi setelah mengalami proses dan menemukan metode-metode akhirnya setetlah sembilan tahun saya memutuskan untuk membuat film panjang tahun depan.

Bedanya Film panjang dan film pendek dari fungsi dan ceritanya, tapi jika dilihat sebagai produser, memang produser lebih memilih film panjang karena distribusinya lebih jelas ada 21, Blitz. Kalau film pendek gimana? Kalau tadi saat pemutaran saya tiketkan 100ribu memang kalian mau? Mungkin kalian berpikir dua kali apalagi jika kalian belum tahu tentang saya. Di luar negeri saja sistem ticketing, saya paling benci pemutaran film pendek yang gratis tapi tujuan pemutaran sekarang adalah pengen kenalan sama temen-temen di Jakarta, film ini sudah keliling di luar negeri jadi nggak sopan saja jika di putar di Indonesia sebagai tanda bersyukur bersama penonton saya meskipun saya tidak tahu sebanyak apa karena selama ini saya memutar film di ruang-ruang khusus. Saya punya tantangan tersendiri dalam membuat film pendek oleh karenanya ada kelas-kelasnya, untuk kelas satu bisa dibilang saya sudah lulus dengan ditandai pemutaran film ini. Paling fun itu film pendek, kalau film panjang mau fun gimana? Budgetnya saja sudah besar.


Dalam film Parts Of The Heart karya Paul Agusta, Anda kan menjadi editor dan Anda juga bekerja sebagai soundman. Bisa dibilang Anda serba bisa tapi apakah hal itu disengaja atau memang permintaan orang lain?

ISMAIL BASBETH: Ya yang saya bilang organik tadi. Pada jenjang 2004 sampai 2008 prosesnya kan banyak, kita tidak tahu kita akan menjadi seperti apa. Karena aku anak musik jadi saya buat musik untuk film, seperti di filmnya Ekky Imanjaya (2005) dan di filmnya Andi Bachtiar Yusuf (2006) saya membuat musiknya. Lama-lama fungsi sound editing di musik dan film sama, akhirnya saya belajar itu juga dan mengedit sound film-film pendek sampai akhirnya saya juga belajar editing video pelan-pelan. Karena film making itu massive jadi harus serba bisa, ada art, fotografi, produksi. Hingga pada akhirnya di tahun 2008 “Hide and Sleep” dibuat.


Apakah Anda lebih nyaman sebagai sutradara, editor atau soundman?

ISMAIL BASBETH: Saya nggak mau mengambil rejeki orang lain, karena ada yang jauh lebih jago. Tapi saya tidak bisa sekaku itu sama hidupku sendiri, dalam film making itu semua bagian menyenangkan. Saya juga main film kok, masa saya milih menjadi sutradara nggak boleh menjadi yang lain. Ya mungkin proses saya lebih majemuk dari orang lain, mengalir saja.


Film Shelter ikut dalam festival Vladipostok dan Bucharest. Apakah Anda pesimis akan menang?

ISMAIL BASBETH: Saya nggak peduli mau menang atau kalah karena saya buat film bukan mencari itu. Alat ukurnya bukan itu, tapi memang ada alat ukurnya misalnya tiket atau festival. Kebetulan saja di Rusia nggak ada bioskop untuk film pendek jadinya di ikutkan pada festival.  Shelter memang setahun ini setiap bulan memang diputar di luar negeri, ya nggak apa-apa, “Shelter” kan anakku juga, kalau “Shelter” bisa sekolah ke luar negeri ya sekolahlah yang tinggi.


Kalau untuk keseluruhan film pendek dan penghargaan yang sudah didapat sampai sekarang sudah berapa?

ISMAIL BASBETH: Kalau untuk film pendek sudah lima yang diputar untuk publik dan ada beberapa yang diputar untuk kepentingan berbeda. Kalau untuk penghargaan dari Asian Film Academy meraih Best Director untuk film “Hide and Sleep” dan Workshop di Berlin yang harus bersaing dengan 350 orang dari seluruh dunia. Ya itu aja sih!


Kalau untuk saat ini jika ada tawaran mengajar apakah Anda mau?

ISMAIL BASBETH: Saya sih mau saja, saya suka sharing. Namun membuat film dan mengajar adalah hal yang berbeda, film sudah ada dari seratus tahun yang lalu, saya mungkin baru tahu sedikit saja. Simpelnya saya mau bertukar informasi saja, jangan terlalu serius. Kalau mereka yang mau diajar sama saya mengikuti proses yang saya buat sih ayo saja, jika mengikuti proses mereka berarti saya harus belajar lagi dong sesuai dengan kurikulum mereka, masa orang buta ngajarin orang buta juga.


Menurut Anda keadaan film di Indonesia saat ini seperti apa?

ISMAIL BASBETH: Saya nggak mau komentar, karena pertanyaannya bisa menjurus ke hal yang tidak saya kuasai. Saya buat film saja!

Wawancara Ifa Isfansyah

Isfansyah: Kritik Bikin Lebih Fresh!

Oleh: / March 8, 2010
Beberapa jam menjelang Semifinal Leg I Liga Champions 2007-2008 antara Manchester United vs Barcelona, Bayu Bergas mewawancarai Ifa Isfansyah yang tengah berada di Korea via YM. Kepada Bayu, selain membeberkan pandangannya tentang kualitas dan apresiasi film pendek Indonesia, Ifa juga membuka tiga hal hasil evaluasinya terhadap proses yang ia lalui sebagai sutradara selama ini, termasuk soal beberapa produser yang menawarinya untuk masuk dalam ‘selera pasar’. Yang tak kalah mengejutkan, meski Ifa mengaku sedemikian respek terhadap Edwin, namun Ifa tetap menyebut bahwa Edwin tak bisa dipercaya!
* * *

Bayu: Selamat atas kemenanganmu di Hongkong Independent Film-Video Award 2008 tempo hari.
Ifa: Oke!
Bayu: Apa artinya buatmu, Fa?
Ifa: Secara umum buat aku festival adalah sebuah perjalanan. Aku mempercayai setiap orang yang berada di festival film manapun untuk mengapresiasi filmku. Jadi setiap filmku diputar atau diapresiasi, aku selalu merasa filmku sedang melakukan sebuah perjalanan yang kadang lancar kadang nggak. Sedangkan kemenangan itu seperti bonus di tengah jalan. Seperti halnya saat kita sedang berada di tengah jalan dan dikasih makanan enak yang gratis. Jadi benar-benar bonus, bukan tujuan. Tapi yang Hongkong kemarin, itu agak beda. Itu kemenangan pertamaku di luar Indonesia.
Bayu: Oke. Lalu apa istimewanya kemudian, terkait dengan rencana produksimu yang berikut?
Ifa: Yang pasti, aku langsung merevisi biografiku di proposal project film selanjutnya. Hahahaha…
Bayu: Hahaha..
Ifa: Hahaha… Karena kalau maksud dari pertanyaanmu itu adalah uang untuk memproduksi filmku selanjutnya, jujur aku nggak dapat uang banyak dari kemenanganku kemarin. Jumlahnya nggak ada artinya dengan yang sudah aku keluarkan selama ini untuk film-filmku. Sampai saat ini uang belum menjadi poin utama setiap aku bikin film. Mungkin nanti. Hahaha!
Bayu: Selain itu, adakah yang benar-benar istimewa?
Ifa: Hmm… Ya sesederhana itu. Dari kemenangan kemarin aku merasa filmku diapresiasi dengan bagus dan aku lebih percaya diri untuk memulai project selanjutnya.
Bayu: Oke. Secara umum, penilaianmu akan kualitas film-film pendek Indonesia saat ini gimana?
Ifa: Wah.. Kalau kualitas ya masih belum sampai. Ada kesadaran berproduksi saja sudah oke-lah sementara ini. Kualitas itu butuh proses dan belajar. Selama pembuat film pendek dalam berproduksi hanya untuk refreshing atau mengisi waktu luang, susah! Tapi lihat saja, siapa yang serius menekuni, kualitas pasti otomatis ngikut di belakangnya. Ini semacam konsepsi perjalanan dari para pembuatnya.
Bayu: Misalnya siapa tuh?
Ifa: Misalnya, aku sebut satu nama: Fajar Nugross. Aku salah satu orang yang ngikutin perkembangan dia. Karena mungkin awalnya berasal dari satu kota (Yogyakarta). Semua orang tahu, betapa jelek filmnya dia yang pertama dan yang awal-awal dulu. Tapi itu nggak masalah buat aku, karena aku yakin dia bikin film bukan untuk sekadar iseng atau mengisi waktu luang. Akhirnya dia serius, walaupun nggak pernah belajar film secara formal. Dan aku lihat filmnya dia yang terakhir, itu sudah jauuuuuh lebih bagus dan enak dilihat. Ke depannya, aku yakin film-filmnya akan lebih bagus lagi.
Bayu: Ada nama lainnya?
Ifa: Sedikit banyak aku juga tahu Bowo Leksono (Purbalingga). Aku lihat film-filmnya dia. Aku kenal film-filmnya. Dari pertama lihat, aku merasa senang ada film seperti itu. Ada yang bikin film seperti itu. (Film-film Bowo Leksono biasanya kental dengan unsur lokalitas Purbalingga dan sebagian besar juga menggunakan bahasa Banyumasan yang ngapak-ngapak.)
Bayu: Lalu gimana penilaianmu?
Ifa: Awalnya mungkin karena aku juga berasal dari daerah yang hampir sama dan aku akrab dengan bahasa itu. Ibuku asli Cilacap dan memang seperti itu bahasanya kan?! Hahaha.. Jadi aku termasuk orang yang kemudian sayang sama Bowo dan berharap karyanya akan sekuat itu terus. Sampai detik ini aku pikir dia masih konsisten. Aku suka itu.
Bayu: Tapi bukan tanpa cacat ‘kan?
Ifa: Iya, tentu. Misalnya, aku nggak begitu tahu bagaimana proses belajar Bowo. Aku pengen tahu itu. Maksudku di sini tentang teknis, yang memang bukan hal utama tapi menurutku sangat penting.
Bayu: Oke, bagaimana kamu melihatnya?
Ifa: Gini deh, selama ini orang-orang masih nggak mempermasalahkan teknis saat lihat film-filmnya Bowo. Karena memang jelas bukan di situ kekuatannya. Tapi satu atau dua tahun ke depan itu akan sangat jadi masalah. Teknis yang aku maksud, bukan Bowo yang harus tahu tentang teknis pembuatan film modern dengan segala tetek-bengeknya. Tapi lebih ke teknis yang tepat untuk kondisi dan cerita dalam film-filmnya. Itu yang aku pengen tahu! Karena aku orang yang percaya bahwa keterbatasan teknis itu bisa menjadi kelebihan. Menurutku, Bowo dan kawan-kawan di Banyumas punya ‘pekerjaan rumah’ yang banyak banget dan lebih daripada sekadar teknis.
Bayu: Terkait dengan usaha untuk turut mendongkrak kualitas film-film pendek Indonesia, bukannya banyak tuh forum-forum diskusi, bahkan dengan skala yang kecil sekalipun untuk turut memberikan masukan atau kritik pada filmmakers?
Ifa: Sepakat. Tapi bagaimana dengan konsep perjalanan yang aku bilang tadi. Perjalanan adalah terus berjalan alias tidak berhenti di satu titik. Pada akhirnya, tidak hanya sadar membikin lho. Forum kecil ‘kan juga aku lewati.
Bayu: Oke. Apa forum-forum kecil yang ada selama ini sudah meng-cover yang kamu mau, sebagai filmmaker?
Ifa: Forum kecil yang mana yang kamu maksud? Banyak sekali dan semuanya hampir punya karakter yang berbeda.
Bayu: Jogja sebagai lingkungan yang paling akrab denganmu?
Ifa: Hmmm… Selama ini sih forum-forum kecil itu nggak ada masalah. Yang aku lihat masalahnya justru output dari itu. Misalnya aku diundang atau mengundangkan diri di sebuah forum rutin yang muter filmku dan di sana ada diskusinya juga. Aku selalu nggak ada masalah dengan forum sekecil apapun. Walaupun yang datang cuma 3 orang dan kita diskusi. Tapi tuntutanku selanjutnya adalah bagaimana agar hasil diskusinya itu juga bisa diakses orang lain, bahkan masyarakat umum. Nggak harus lewat koran. Bisa lewat blog atau ditulis dan dikirim ke milis. Itu menjadi penting, seburuk apapun kualitas forum itu. Agar pergerakan sekecil apapun bisa terdeteksi. Kalau prosesnya bagus, forum sekecil apapun fungsinya bisa sama saja dengan festival film yang besar-besar itu.
Bayu: Tapi nggak semua filmmaker doyan kritik lho, Fa…
Ifa: Hahaha… Iya! Itulah kenapa aku bilang kebanyakan masih dalam tahap sadar produksi.

Bayu: Lalu menurutmu gimana dengan mentalitas yang seperti itu?
Ifa: Aku pikir kualitasnya akan jalan di tempat. Dan sekarang pun ini sudah jadi masalah. Misalnya, kalau seumpama film pendek Indonesia untuk mendapat pengakuan maka ia harus beredar di festival luar negeri, ini jadi masalah. Harusnya ya kita bisa seperti bahasa klasik “menjadi tuan rumah di negeri sendiri”. Film pendek Indonesia ya harusnya dapat pengakuannya di Indonesia. Ironisnya, hampir semua film pendek yang dinilai oleh kritikus sebagai film bagus, itu pasti karena film-film tersebut sudah pernah diputar di festival luar negeri. Maksudku, kok yang ngasih pengakuan malah orang luar yang notabene kulturnya beda dengan kita, sehingga hampir pasti cara menilainya pun sangat berbeda. Padahal festival itu relatif. Itu hanya masalah selera saja. Dalam hal ini tentu saja selera si programer festivalnya.
Bayu: Film-filmmu sendiri juga masuk festival luar negeri. Apa ada statement khusus yang ingin kamu sampaikan ke luar sana?
Ifa: Hahahaha… Kalau filmku ke luar negeri dan diputer di beberapa festival di sana, maka bukan berarti film-filmku bagus juga. Karena ternyata lebih banyak lho festival yang menolak film-filmku. Kalau mengacu pada konsep perjalanan tadi, seharusnya justru filmku bisa menang di Hongkong kemarin setelah mendapat tempat di Indonesia sendiri.
Bayu: Lalu kenapa tidak? Hahaha
Ifa: Hahahaha(Ifa menjelaskan masalah sulitnya ‘Setengah Sendok Teh’ diputar di Indonesia, namun Ifa meminta agar masalah ini off-the record.)
Bayu: Oke. Kita belum bisa ngomong soal kualitas film pendek Indonesia. Tapi paling tidak, kita sudah ngomong soal apresiasi terhadapnya, sebagai bagian dari proses pencapaian kualitas. Terlepas dari output atau fungsi informatifnya tadi, bagaimana kamu melihat ruang-ruang apresiasi di dalam negeri?
Ifa: Lembaga untuk apresiasi yang menjadikan film-film pendek kita mendapat tempat di negeri kita sendiri itu kurang. Kalau berharap festival—misalnya sebut saja Konfiden (Festival Film Pendek Konfiden)—itu kan setahun sekali. Dan hampir pasti semua festival kita setahun sekali. Padahal orang bikin film pendek itu nggak musiman! Nah harus ada forum yang bergerak sepanjang tahun tapi itu bisa dijadikan jalur untuk film pendek tadi. Jalur yang intinya benar-benar untuk apresiasi karya-karya yang ada. Tentu jadi masalah sampai sekarang, untuk mendapat pengakuan atas karya kita kok masih harus dari luar negeri. Padahal lebih asyik kalau dapat apresiasi di negara kita sendiri, karena jelas kultur dan latarbelakang masyarakatnya sama. Yang dimakan nasi sama tempe juga! Hahaha
Bayu: Sebagai sutradara, posisi kritik menurutmu seperti apa?
Ifa: Aku merasa belum pernah di kritik secara resmi. Tapi buat aku mungkin kritik jadi kayak refreshing untuk film berikutnya. Dengan kata lain, semakin banyak aku dikritik maka aku merasa semakin fresh. Hehehe.. Tapi yang selama ini sih aku merasa kritik itu sebuah surprise. Sebuah kejutan! Setidaknya sampai saat ini.
Bayu: Maksudmu?
Ifa: Komentar-komentar singkat. Ada beberapa programer festival yang memberi komentar tentang filmku (Setengah Sendok Teh). Dan pada setiap komentarnya pasti ada yang membuatku terkejut. Misalnya Philip Cheah (Singapore International Film Festival) dia memberi komentar, “Ini film yang pas untuk pasangan yang sudah menikah, biar mereka nggak terlalu banyak nonton TV.” Aku nggak pernah kepikiran itu dan aku kaget. Terus Yu Un Seoung (Jeonju International Film Festival) berkomentar, “Ifa, kamu pasti bagus banget kalau bikin film horor. Buatku film kamu adalah film horor yang menakutkan.” Hahaha! Romantic Horror, begitu dia menyebutnya. Setiap detiknya dia selalu tegang dan terteror dengan kata-kata cinta di filmku itu. Aku terkejut aja, karena tanpa musik atau adegan yang menakutkan, bagi dia aku sudah berhasil membangun suasana menakutkan.
Bayu: Jadi, selama ini sebatas komentar-komentar singkat gitu ya. Ada lagi yang menarik?
Ifa: Hmmm… Philip juga tanya, “Apakah ‘Setengah Sendok Teh’ itu film Indonesia pertama yang ada adegan meremas payudara?”
Bayu: Hahaha… Lalu kamu jawab apa?
Ifa: Aku jawab nggak tahu. Nggak berani jawab pertanyaannya dia. Hahaha..
Bayu: Kalau kamu bilang nggak pernah merasa dikritik secara resmi, setidaknya kamu bisa otokritik dong. Evaluasi dari prosesmu selama ini? Tiga teratas deh.
Ifa: Hmmm… Pertama, di dua film terakhir aku udah nggak cuma sadar produksi. Tapi juga sadar distribusi. Menurutku itu penting. Karena selama ini sutradara film pendek kita baru pada tahap sadar produksi. Yang kedua, sekarang aku sudah fokus ke cerita, tidak melulu terkonsen pada pencapaian teknis. Yang aku butuhkan sungguh-sungguh saat membuat film adalah merasakan emosi yang ada dalam space filmku. Dan yang ketiga adalah bahwa salah satu hal terberat menjadi seorang Ifa Isfansyah adalah menahan hasrat untuk meniru sesuatu yang bagus.
Bayu: Maksudmu?
Ifa: Lihat rumah bagus, pengen niru. Lihat mobil bagus, pengen niru. Hahaha.. Nek duwe duit!
Bayu: Hahaha.. Terus?
Ifa: Nah, sekarang aku sudah nggak tahan itu. Tapi aku sudah bisa gimana memanfaatkan itu menjadi kelebihanku. ‘Manajemen-meniru’ku sudah lebih bagus dan justru menjadi poin yang positif. Cieeee… Aku adalah anak terkecil yang dari dulu kebiasaan di keluargaku apa-apa itu ya yang jadi patokan pasti yang lebih tua. Dan kebetulan kakak dan mbak-ku memang orang yang pantas ditiru.
Bayu: Jangan-jangan kamu lagi curhat nih?
Ifa: Hahaha.. Iya, sekalian curhat. Aku jadi orang yang kalau lihat yang bagus-bagus jadi pengen. Nah, di film awalnya itu jadi masalah. Gimana caranya menahan diri. Tapi sekarang aku pikir buat apa ditahan-tahan. Justru energi itu aku pakai. Aku manage. Dan aku pikir hampir setiap kreator punya kecenderungan itu, mungkin. Kebetulan juga aku memang orang yang tidak terlalu suka menciptakan atau menemukan sesuatu yang baru. Mungkin belum. Sekarang baru berada di tahap bagaimana caranya menciptakan sesuatu yang bagus. Bukan yang baru.
Bayu: Oke, jadi itu tiga hal terpenting dari evaluasimu?
Ifa: Ya. Itulah tiga evaluasi selama prosesku: sadar distribusi, focus to the story dan manajemen pengaruh.
Bayu: Bisa lebih spesifik lagi soal sadar distribusi?
Ifa: Lebih ke distribusi film-filmku ke beberapa festival.
Bayu: Hmmm… Tapi bukannya memang itu track-mu?
Ifa: Nggak juga. Aku masih merasa bisa dan mempunyai kesempatan berjalan di multitrack. Ya festival, ya ke masyarakat umum lewat bioskop baik yang mainstream ataupun alternatif. Aku merasa masih punya kesempatan itu. Aku masih muda.
Bayu: Maksudku, dengan melihat prosesmu beberapa tahun ke belakang…
Ifa: Oooh.. Iya. Karena hanya itu pilihannya agar aku bisa tahu kualitas filmku.
Bayu: Setelah tahu itu, bagaimana ancang-ancangmu untuk satu, dua atau lima tahun ke depan?
Ifa: Waduh.. Pacarku aja nggak berani nanya itu! Hahaha… Yang jelas tahun depan aku sudah janji untuk berbuat sesuatu yang penting untuk diriku sendiri dan film Indonesia. Dari awal aku nggak berharap banyak dari apa yang aku peroleh di Korea sini. Karena memang sedari awal lebih pada sebuah keputusan untuk berani meninggalkan rumah dan negaraku dengan harapan pulang untuk menjadi orang yang lebih baik. Itu yang terpenting. Hmmm… Tahun depan film panjangku yang pertama! Judulnya ‘Rumah dan Musim Hujan’. Pokoknya hanya aku, kamu dan rasa rindu yang selalu masuk melalui lobang kunci pintu. Itu aja. Hehehe
Bayu: Sudah ada produser yang nawarin kamu tentunya.
Ifa: Waduhhh! Hahaha… Iya. Ada beberapa.
Bayu: Gimana tuh ceritanya? Bisa sebut nama juga kan?
Ifa: Jangan! Soal produser ini lumayan parah.
Bayu: Hahaha… Nanti namanya aku cut di editing deh?
Ifa: Hahahaha… Nggak.
Bayu: Oke. Tapi sedikit soal produser dan distribusinya?
Ifa: Oke. Gini, untuk sekarang intinya kan aku pengen bikin film dan filmku ditonton orang sebanyak-banyaknya. Dan untuk mewujudkan itu, produser sebuah PH besar dengan distribusi 21 tentu sangat menarik ‘kan?!
Bayu: Dia punya nama dong..
Ifa: Hahaha… Nggak.
Bayu: Hahaha… Oke, lanjut..
Ifa: Nah, kecuali kalau aku bikin film dengan jaringan distribusi yang aku jalankan sendiri dan itu bisa ditonton orang sebanyak di 21, mungkin aku udah nggak tertarik lagi. Pada prosesnya, ada beberapa tawaran cerita yang memang belum cocok. Dengan kata lain, ya sekarang aku belum bisa terima beberapa tawaran cerita dari produser itu. Intinya aku belum terikat kontrak sama pihak manapun. Meski sebenernya kalau mau jujur, lebih susah nolak produser daripada nolak cewek. Hahaha…
Bayu: Hahaha…
Ifa: Mungkin akan beda kalau produsernya cewek! Hahaha…
Bayu: Eh, itu Ucup (Andibachtiar Yusuf) bikin ‘The Conductors’ diproduseri sendiri. Dan diambil Jive untuk distribusinya. Makanya orang-orang bilang Ucup sekarang jadi filmmaker dokumenter terkaya di Indonesia. Hahaha…
Ifa: Hahaha… Yang aku tahu malah Persija mau dibeli sama Ucup. Mau dijadiin PH sama dia: PT. Persija Sinema! Hahaha…
Bayu: HahahaEh, Fa… Film-film pendek siapa sih yang selalu kamu ikuti?
Ifa: Hmmm.. Ada beberapa filmmakers yang selalu aku perhatikan. Dari mereka, aku selalu bisa menangkap spiritnya. Bahkan tanpa aku menonton film-filmnya. Sebagai sutradara, aku dapat spirit ketika mengikuti proses mereka selama ini. Tapi tentu saja juga dari karya yang mereka hasilkan. Itu penting buat aku dan prosesku berikutnya.
Bayu: Siapa aja misalnya?
Ifa: Biasanya teman-teman yang berasal dari daerah. Aku suka semangat yang dibawa di film-filmnya. Misalnya Bowo seperti yang aku bilang tadi. Lalu teman-teman di Jogja dan Jawa Timur. Nggak tahu kenapa, aura dan energi yang ada di setiap film dari daerah itu selalu bagus.
Bayu: Aura dan energi yang gimana?
Ifa: Aura dan energi yang aku butuhkan sebagai seorang filmmaker dong. Hehehe…
Bayu: Kalau Edwin?
Ifa: Edwin? Aku selalu suka energi yang ada di film-filmnya Edwin. Aku respek banget. Selalu bisa menangkap energinya dan itu sangat berguna buat aku. Tanpa harus tahu ceritanya atau bahkan dari filmnya Edwin yang aku nggak suka!
Bayu: Misalnya?
Ifa: Misalnya, aku nggak suka dengan cerita dan gaya ‘Very Slow Breakfast’. Tapi aku suka dengan filmnya secara utuh. Aku bisa merasakan energinya. Atau bahkan yang paling nggak aku suka: ‘Dajang Soembi’ (Dajang Soembi: Perempuan Jang Dikawini Andjing). Tapi ya itu tadi, aku dapat energi dari film itu. Dengan kata lain, buatku: itulah film!
Bayu: Punya Edwin yang paling kamu sukai?
Ifa: Sampai sekarang aku suka ‘Trip to The Wound’.
Bayu: Edwin disebut oleh Eric (Eric Sasono) sebagai filmmaker yang masih berkutat dengan hal-hal berbau eksistensialis. (Percakapan Joko Anwar, Edwin dan Eric Sasono di www.rumahfilm.org).Menurutmu?
Ifa: Aku tidak tahu apa itu arti eksistensialis yang dimaksudkan. Tapi menurutku Edwin adalah filmmaker yang membuat film karena memang ada yang ingin dia buat. Film-film dia sangat berbicara, bahkan mungkin tanpa Edwin punya maksud terhadap apa yang ingin dia bicarakan. Seperti yang tadi aku bilang, kadang aku sendiri nggak suka dengan cerita atau gayanya. Tapi aku suka dengan filmnya secara utuh. Makanya aku berani bilang ya karena… itulah Edwin! Hehehe… Intinya, apapun yang dia buat selalu bermanfaat buat aku sebagai pembuat film.
Bayu: Apa Edwin juga menilaimu seperti itu ya? Hehehe..
Ifa: Hahaha… Aku nggak tahu. Mungkin karena—istilahnya Ucup—aku dan Edwin bermain di liga yang sama. Hahaha… Aku pernah bilang ke Edwin dan pengen bilang ke Waditya (Wahyu Aditya, HelloMotion) juga: ‘Mayar’ itu aku tulis pada malam setelah aku datang melihat syuting mereka di Jogja waktu garap ‘Eva, Kenapa Rumahmu Jauh?’. Aku dapat energi membuat film saat melihat mereka. Walaupun waktu itu aku udah punya Fourcolours dan bikin film juga. Itu yang aku maksud energi tadi, seperti halnya aku semakin mendapatkan energi bersama teman-teman Fourcolours.
Bayu: Apalagi yang bisa kamu ambil dari Edwin?
Ifa: hahaha… Aku pikir hal di atas udah cukup banyak yang aku ambil dari Edwin. Dan sebenarnya aku juga sudah pernah bilang ke dia apa arti seorang Edwin buat aku kok. Hehehe
Bayu: Kalian semesra itukah? Hahaha
Ifa: Hahaha… Tapi tentunya aku juga mesra pada beberapa temen lain yang memang bermain di liga yang sama tadi itu. Kalau aku nggak dengar kabar siapa sedang bikin apa, rasanya aku nggak tenang. Hehehe.. Maksudku, aku juga nunggu karya selanjutnya dari Tooliq (Astu Prasidya, Malang), Eddie (Eddie Cahyono, Fourcolours), dan filmmakers yang lain.
Bayu: Apa kamu dan Edwin selalu ngobrol hal-hal yang serius?
Ifa: Wah, aku malah jarang terlibat pembicaraan serius dengan dia karena memang auranya nggak serius. Hahaha.. Dan aku suka itu. Hmmm… Kita sempat bercanda tentang film-film kita yang “tidak menghibur”. (Ifa merujuk pada film-film Edwin dan filmnya ‘Setengah Sendok Teh’). Kesimpulannya, kita berdua sepakat, “Lha wong kita aja jarang dihibur! Kok disuruh menghibur!” Hahaha..
Bayu: Tapi kalian selalu dapetin sesuatu atau banyak hal kan dari obrolan kalian?
Ifa: Tentu saja! Dan itu yang paling aku suka. Di sela-sela obrolan aku dan dia yang selalu bercanda, pasti ada sesuatu yang setelah itu kita dapet. Ya! Pasti ada “sesuatu”nya.
Bayu: Seperti apa sih kalau kalian berdua saling mengkritik?
Ifa: Wah! Mengkritik sih nggak. Saling mengejek lebih tepatnya! Hahaha.. Belum saatnya aku dan dia saling mengkritik. Atau biarlah itu udah jadi kerjaan orang lain aja. Yang penting saat sekarang kita terus membuat dan membuat.
Bayu: Jadi pengen tahu, apa Edwin pernah testi—atau celoteh sekalipun—tentang film-filmmu?
Ifa: Sering. Tapi aku selalu nggak percaya dengan apa yang dia bilang. Hahaha..
Bayu: Apa tuh?
Ifa: Hahaha.. Aku nggak percaya dengan yang dia bilang…
Bayu: Ayo dong! Publik Indonesia pengen tahu soal kalian. Halah! Hahahaha..
Ifa: Gini, Edwin termasuk orang pertama yang nonton preview ‘Setengah Sendok Teh’. Terus setelah nonton, dia bilang, “Aku mau jualan sandal aja deh! Berhenti bikin film!” Hahahahahahaha…
Bayu: Hahahahaha… Ternyata sampai sekarang Edwin nggak jadi jualan sandal yaaa..
Ifa: Hahaha… Itulah makanya aku bilang kalau Edwin tuh nggak bisa dipercaya! Hahahaha…(*)
">See all videos'); document.write('

var addthis_config = {"data_track_addressbar":true}; ?max-results=8">Post Category 1

'); document.write(" ?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts1\"><\/script>");
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. YUYUD CINEMATOGRAPHY - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger