Film-film pendek Edwin mewakili sebuah
garis sejarah yang kerap terlupakan. Selama ini, kebangkitan perfilman
nasional pasca Reformasi cenderung diasosiasikan dengan tiga film: Kuldesak (1997), Petualangan Sherina (1999), dan Ada Apa Dengan Cinta?
(2001). Ketiganya membuktikan kalau orang Indonesia masih bisa buat
film, dan lebih pentingnya lagi masih bisa memenuhi gedung bioskop.
Sayangnya pembacaan macam ini baru mencakup satu sisi saja: peletakan
fondasi industri perfilman. Bagaimana dengan yang berada di luar
industri? Bagaimana dengan geliat para pegiat film pendek saat Festival
Film-Video Independen Indonesia 1999-2002 dan Festival Film Pendek
Konfiden 2006-2009? Bagaimana juga dengan Jakarta International Film
Festival dan Festival Film Dokumenter di Yogyakarta yang membuka ruang
baru untuk menonton dan mengapresiasi film? Hampir tidak ada catatannya,
padahal periode tersebut menjadi saksi mata penjelajahan estetika film
sebagai sebuah medium secara besar-besaran oleh sineas-sineas lokal.
Edwin salah satunya.
Penjelajahan estetika bukannya tak
terjadi di level industri, namun harus diakui skalanya kecil dan tak
terjadi dalam intensitas yang sama. Film pendek merupakan lahan bermain
yang menyenangkan untuk sineas, baik dalam eksperimen penuturan
sinematik maupun pengangkatan isu-isu yang tak lazim dibicarakan di
ruang publik. Bebasnya film pendek dari kepentingan pasar dan gunting
sensor memungkinkan pembuat film, seperti kata Gotot Prakosa, untuk “mencoba menyusuri jalur lain dari yang sudah ada”.[1]
Jalur lain inilah yang ditempuh oleh
Edwin melalui film-film pendeknya. Edwin selalu mendesain filmnya
sebagai kolase imaji dan bunyi setengah-fana-setengah-nyata, yang
mengusung sejumlah implikasi subversif (setidaknya dalam konteks negeri
ini) tentang relasi sehari-hari kita sebagai manusia. Pendekatan serupa
turut muncul dalam film-film panjang Edwin. Dapat disimpulkan kalau
tumbuh kembang Edwin sebagai seorang sineas (sebagaimana juga Ifa
Isfansyah) bermuara dari kiprahnya sebagai pembuat film pendek.
Melupakan film-film pendek Edwin sama saja seperti menganggap prestasi
cemerlangnya belakangan ini, di antaranya FIPRESCI Award 2009 untuk Babi Buta yang Ingin Terbang dan nominasi Golden Bear Berlinale 2012 untuk Postcards from the Zoo, sebagai berkah dari langit semata.
Tulisan ini ingin mengunjungi kembali
bentuk dan motif visual film-film pendek Edwin berdasarkan tema-tema
cerita yang pernah ia angkat. Dari sinilah kita bisa memetakan tumbuh
kembang Edwin sebagai seorang sineas. Sampai tulisan ini dibuat, Edwin
sudah menghasilkan tujuh film pendek: A Very Slow Breakfast (2002), Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing (2004), Kara, Anak Sebatang Pohon (2005), A Very Boring Conversation (2006), Trip to the Wound (2007, bagian dari omnibus 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi), Hullahoop Soundings (2008), dan Roller Coaster (2010, bagian dari omnibus Belkibolang). Karya Edwin lainnya meliputi dua film panjang (Babi Buta yang Ingin Terbang tahun 2008, Postcards from the Zoo tahun 2012) dan tiga dokumenter (Nyanyian Negeri Sejuta Matahari tahun 2006, Misbach: Di Balik Cahaya Gemerlap tahun 2007, Nairobi Notes tahun 2010).
.
Keluarga adalah Bencana
A Very Slow Breakfast mengawali
eksplorasi Edwin terhadap institusi keluarga. Film tersebut memotret
tindak tanduk sebuah keluarga ideal ala Keluarga Berencana (satu bapak,
satu ibu, dua anak) melalui montase adegan sarapan pagi. Sepanjang film
penonton dituntut menghadapi kolase suara, semacam katalog bebunyian
domestik, yang didistorsi sedemikian rupa sehingga menciptakan penekanan
tertentu untuk masing-masing tokoh.
Film dibuka dengan close-up sebuah
cangkir kopi. Ada suara garuk-garuk kepala si anak laki-laki. Setiap
bulir ketombe yang jatuh ke cangkir kopi menghasilkan dentuman suara. Cut ke close-up ujung rokok yang sedang dinyalakan si bapak. Gemerisik korek dan ujung rokok yang tersulut api terdengar bergemuruh. Cut lagi ke medium shot anak perempuan sedang senam di depan televisi. Suara tokoh kartun dari sebuah video olahraga pun mendominasi.
Edwin ingin kita memperhatikan suara-suara banal ini. Kenapa? Karena keluarga dalam A Very Slow Breakfast
sudah begitu terendam oleh rutinitas, sehingga segala bentuk interaksi
menjadi begitu mekanik. Fungsi afektif sebuah keluarga terabaikan,
sehingga masing-masing anggota keluarga terlihat asing dengan sesamanya.
Hal ini tercermin dari dua hal: ketiadaan dialog sepanjang film dan
interaksi bapak-anak yang terjadi dalam konteks timbal balik. Si bapak
menyodorkan segepok uang ke anak-anaknya macam bos-bos mafia. Untuk si
anak laki-laki, uang menjadi timbal balik atas secangkir kopi penuh
ketombe yang diminum si bapak. Untuk anak perempuan, uang menjadi
semacam pemantik untuk sejumlah gerak senam yang terlihat erotis, yang
disorot dalam gerak lambat oleh Edwin. Semua ini terjadi dalam rentetan
adegan yang secara konstan dihiasi oleh sebuah garis diagonal,
menempatkan semua anggota keluarga di pojok bawah frame. Seakan-akan ada kekuatan tak terbahasakan yang menekan mereka semua, apapun itu.
Khoo Gaik Cheng menafsir A Very Slow Breakfast sebagai
bentuk “alienasi sosial dari keluarga urban kapitalis yang tidak
memiliki waktu satu sama lain, apalagi hubungan dekat”.[2] Sementara itu
Eric Sasono berpendapat bahwa keluarga dalam film tersebut “memang utuh
dalam bentuk, tapi komunikasi mereka adalah semacam mimpi buruk”.[3]
Kedua pendapat ini bermuara pada satu benang merah: sebagai sebuah
institusi, kata “keluarga” barulah merujuk pada sebuah bentuk
kolektivitas. Sayangnya, kata yang sama bukanlah mantra suci yang
membebaskan rutinitas keluarga dari segala sifat buruk manusia, termasuk
mencegah anggotanya dari berbuat semena-mena terhadap sesamanya.
Ini menarik. Sinema Orde Baru, rezim
audiovisual yang mendahului seluruh karya Edwin, mengedepankan keluarga
sebagai miniatur negara. Konflik yang terjadi cenderung disulut oleh
faktor eksternal. Keluarga dianggap sebagai satu kesatuan yang
menghadapi ancaman dari luar, entah itu komunis, kepercayaan sesat, atau
demit-demit film horor. Interaksi dalam keluarga sendiri tidak
didefinisikan. Tidak heran kalau kemudian ada seperangkat nilai yang
kita asosiasikan dengan keluarga Orde Baru: saleh, taat hukum, dan
berbudi luhur. Nilai-nilai yang sama ditekankan pihak penguasa pada
rakyatnya waktu Orde Baru. Edwin sebaliknya memilih untuk fokus pada
internal keluarga terlebih dahulu, mengulik bentuk interaksi macam apa
yang bisa mengalienasi anggota keluarga, sebelum akhirnya bergerak ke
faktor-faktor di luar keluarga.
.
Kenangan Buruk tentang Masa Sekarang
Tesis tentang keluarga sebagai institusi bermasalah ini Edwin kembangkan dalam dua film pendek berikutnya: Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing dan Kara, Anak Sebatang Pohon. Kedua film tersebut memberi nama untuk kekuatan tak terbahasakan yang menekan keluarga dalam A Very Slow Breakfast. Apabila A Very Slow Breakfast hadir layaknya potongan dari kehidupan sehari-hari sebuah keluarga, Dajang Soembi dan Kara bertutur
dalam garis waktu yang terdiri dari pembentukan suatu keluarga, konflik
dalam keluarga, dan kehancuran keluarga tersebut. Komposisi plot
semacam ini memungkinkan Edwin untuk menginformasikan kepada penonton
bagaimana keluarga sesungguhnya adalah sebuah konsep yang pada dasarnya
problematis.
Mari mulai dengan Dajang Soembi.
Film tersebut merupakan pembaruan dari legenda Sangkuriang yang kita
sudah kenal selama ini. Pembaruan ini ada dua macam. Dari segi penuturan
sinematik, Dajang Soembi dibuat layaknya sebuah film bisu yang
sempat hilang dan ditemukan lagi. Ia didesain dalam warna hitam-putih,
diiringi dengan sebuah lagu orkestra, dan disusun dengan teks pengantara
(intertitle) dengan huruf zaman kolonial, plus
sejumlah cacat visual (goresan di beberapa adegan) yang sengaja diadakan
pembuat film dengan merusak seluloid. Dari segi isi cerita, Dajang Soembi menihilkan
banyak bagian dari legenda Sangkuriang, dan berfokus pada ketegangan
seksual antara Sangkuriang, Dayang Sumbi, dan Tumang (bapak Sangkuriang,
manusia setengah dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing).
Sebuah cerita penting bukan saja karena
apa yang diceritakan, tapi juga apa yang tidak diceritakan. Dengan
meminimalisir legenda Sangkuriang ke tiga tokoh utama saja, Edwin
menghadapkan penonton pada fakta bahwa legenda rakyat kita ternyata
dipenuhi hal-hal yang sekarang kita anggap menyimpang. Ada bestiality (hubungan seksual dengan hewan), yang mendasari pernikahan Dayang Sumbi dengan Tumang. Ada incest (hubungan
seksual dengan insan sedarah), yang memotivasi Sangkuriang untuk
membunuh Tumang dan menjadikan Dayang Sumbi sebagai kekasihnya. Ada
kanibalisme, yang menjadi klimaks film ketika Sangkuriang
mempersembahkan hati Tumang untuk makan malam ibunya. Propaganda Orde
Baru tentang keluarga ideal hanyalah rekaan pihak penguasa untuk
menutupi kenangan buruk tentang tradisi rakyat kita.
Ungkapan modern dari keluarga bermasalah ini terwujud dalam Kara.
Antagonisnya adalah patung Ronald McDonald, simbol kapitalisme abad 20,
yang mendadak jatuh menimpa ibu Kara tepat setelah ia melahirkan.
Keberadaan patung McDonald ini berimplikasi ganda. Di satu sisi, ia
adalah satu-satunya hal yang dapat menembus keluarga ideal yang
tergambar di salah satu adegan film: bapak dan ibu Kara memadu cinta di
pinggir danau. Dunia-tanpa-orang-tua yang Kara tempati pasca kematian
ibunya pun tergambar sama idealnya: perbukitan, pohon-pohon, dan
hamparan rumput hijau yang bersih dari lalu lalang manusia. Indah macam
taman firdaus. Apabila pergantian figur ibu dengan patung Ronald
McDonald tidak mengubah lingkungan nyaman yang Kara tinggali, berarti
kapitalisme sesungguhnya sudah cukup kuat untuk menggantikan figur orang
tua. Berarti kita semua adalah anak-anak McDonald.
Di sisi lain, kelahiran Kara adalah
kematian ibunya. Pelakunya adalah patung Ronald McDonald ini. Kara tak
bisa melupakan kenangan buruk tentang suatu hal yang memungkinkannya
berada di masa sekarang. Kalau mau balas dendam, berarti kapitalisme itu
sendiri yang harus diruntuhkan. Mungkinkah?
Edwin menggambarkan misi balas dendam Kara di pertengahan kedua film, di salah satu cabang McDonald, dengan kamera handheld.
Visual film mendadak kasar dan bergoyang-goyang, kontras dengan
kenyamanan yang terlukis di pertengahan pertama film. Kara menghantam
patung Ronald McDonald dengan parang panjang, namun kapitalisme hanya
bergeming. Kejadian tersebut didahului oleh sebuah montase berisikan shot
para pengunjung McDonald yang melihat Kara. Ada jarak, ada
ketidakacuhan akan konfrontasi Kara. Tersirat sebuah pemahaman bahwa
semuanya akan berakhir sia-sia. Benar saja. Kara duduk lunglai di
sebelah musuh abadinya, menyedot minuman yang ditawarkan salah seorang
pengunjung McDonald. Mau tak mau ia harus mengakui kalau dirinya juga
keturunan kapitalisme modern.
.
Hasrat dalam Bejana Kaca
A Very Boring Conversation
menandai penjelajahan Edwin ke unit bahasan yang lebih mendasar: hasrat
antara laki-laki dan perempuan. Menariknya, Edwin mewujudkannya melalui
sebuah kerangka visual. Satu pola yang konstan berulang: tokoh laki-laki
selalu berada di posisi pengamat, sementara tokoh perempuan sadar bahwa
dirinya diamati dan bertindak demikian. Keduanya terhubung secara
erotis bukan lewat sentuhan, tapi saling silang pandangan.
Pendekatan Edwin ini mengingatkan akan
tesis John Berger, tentang budaya visual manusia yang cenderung
menempatkan laki-laki dan perempuan dalam lapangan bermain yang berbeda.
Artefak macam lukisan, foto, dan film kebanyakan dihasilkan subjek
maskulin, sementara objeknya adalah perempuan.[4] Ini telah terjadi
secara berulang-ulang dalam peradaban manusia, sehingga sudah menjadi
bagian dari alam bawah sadar kita. Ketika seorang perempuan lahir ke
dunia, maka ia juga lahir ke tatapan para laki-laki. Bukankah banyak
orang tua yang berpesan pada putrinya agar bertindak sopan dan
berpakaian rapi supaya terlihat pantas di hadapan orang-orang, terutama
laki-laki? Implikasi sosialnya: melihat (dan menonton) menjadi kegiatan
yang politis secara seksual. Laki-laki mengamati dan perempuan mengamati
dirinya diamati.
Dalam A Very Boring Conversation, dialektika laki-laki dan perempuan berbasis pandangan ini terwujud dalam affair Andit
dan Eva, seorang remaja laki-laki dengan ibu pacarnya. Mereka
dipertemukan oleh janji untuk mendengar komposisi musik gubahan pacar
Andit. Di awal film, keduanya mendengarkan musik itu bersama lewat
sebuah headphone, sembari bercakap-cakap tentang eksplorasi
sensasi indrawi lewat seni. Percakapan ini banal dan sesungguhnya tak
penting, karena pada waktu bersamaan Eva lebih asyik menatap mangkok di
depannya, menyedot setiap jengkal mie dengan erotis. Eva berada di kanan
frame, sedikit lebih maju daripada Andit. Edwin seakan-akan
meminta penonton untuk mengambil posisi Andit sebagai pengamat Eva,
pusat perhatian sesungguhnya dalam sekuens pembuka ini.
Ketegangan seksual keduanya semakin
meninggi seiring berjalannya film. Setelah keduanya mengamati lampu yang
terkedip tanpa sebab dan mengadakan pelajaran singkat membuat akun
email, Eva mengaku pada Andit bahwa dia dulunya pramugari Garuda. Andit
menantang Eva untuk membuktikannya. Jadilah Eva memperagakan prosedur
keselamatan sebelum lepas landas. Sembari diterangi lampu terkedip tadi,
kamera menyorot detail-detail tubuh Eva, sesekali memposisikan kepala
Eva di luar frame. Apa yang sejatinya peragaan prosedur
keselamatan jadi terlihat seperti pelajaran dan ajakan seksual perempuan
dewasa ke seorang jejaka muda. Suara hujan terdengar kian deras di
luar. Ketika lampu akhirnya mati dan tak lagi memungkinkan adanya saling
pandang, Eva berseloroh, “Rokok deh. Semoga nggak banjir ya.” Boleh jadi ini adalah salah satu dialog paling mesum sepanjang sejarah perfilman Indonesia.
Pengungkapan yang sama simboliknya terjadi dalam Hulahoop Soundings. Film tersebut merupakan balada tentang phone sex,
suatu kegiatan yang Edwin umpamakan melalui permainan hulahup. Secara
visual, ini menghasilkan pemandangan dua perempuan yang
menggoyang-goyangkan pinggul, demi mata dan kepuasan seorang laki-laki.
Secara aural, ini menyebabkan suara desing putaran hulahup secara
ritmik, layaknya nafas seorang pecinta yang sedang sanggama. Kembali
motif lampu terkedip muncul. Kejadiannya menjelang akhir film, bersamaan
dengan akhir hubungan si laki-laki dan gadis panggilan pujaannya itu.
Pandangan tak lagi memungkinkan dan si gadis pujaan hilang begitu saja.
Pengungkapan yang lebih sederhana terwujud dalam Roller Coaster.
Ceritanya bermula dari sebuah janji di kamar hotel. Atas dasar
pertemanan mereka selama ini, seorang perempuan mengajak seorang
laki-laki untuk bermain. Peraturannya: mata keduanya ditutup, lalu
bergantian melepas satu demi satu pakaian sesamanya. Ketika keduanya
sudah sama-sama bugil, si laki-laki membuka tutup matanya, si perempuan
tidak. Si perempuan tak siap untuk menjadi pengamat lawan jenisnya. Pola
relasi seksual yang dirumuskan Berger pun semakin dilanggengkan.
.
Identitas Diri yang Nisbi
Apabila dirangkum, film-film pendek
Edwin berhulu pada wacana tentang identitas diri yang nisbi, yang secara
absolut akan selalu relatif dan terus-menerus ditulis ulang dalam
hubungan-hubungan sosial yang dijalani. Ini penting, mengingat sepanjang
Orde Baru kita mendapati banyak produk sinematik yang berusaha
mencangkokkan ide tentang apa dan siapa itu “manusia Indonesia”, sesuai
dengan kepentingan penguasa tentunya.
Edwin menempuh jalur lain. Ia kembalikan
perumusan identitas diri ke manusia itu sendiri dalam relasi
sehari-harinya. Apa yang selama ini beredar di lingkaran sosial belum
tentu sesuai dengan yang ada di lingkungan personal. Di tiga film pendek
pertama Edwin, kita mendapati identitas diri yang diformulasikan
melalui relasi dalam keluarga, sesuai dengan kepentingan dan posisi
kuasa masing-masing anggota keluarga. Dalam tiga film pendek lainnya,
kita mendapati relasi seksual antara lawan jenis, dalam konteks budaya
visual manusia yang lebih memihak salah satu. Identitas diri manusia
akan selalu relatif dan tak pernah utuh, karena pada akhirnya selalu
bergantung pada orang lain, bukan diri sendiri. Sebutlah ini filsafat
eksistensialis dalam kemasan pendek nan sinematik.
Dalam Trip to the Wound, Edwin
memperluas eksplorasinya tentang identitas manusia ke ranah trauma
sosial. Dibuat di sebuah perjalanan bus ke Surabaya sebelum syuting Babi Buta yang Ingin Terbang, Trip to the Wound bercerita
tentang interaksi sepasang laki-laki dan perempuan. Si perempuan
membuka film dengan menyapa si lelaki dan bertanya tentang luka di
pundaknya. Belum juga si lelaki menjawab, si perempuan lanjut menyerocos
tentang luka-luka yang ia temui di orang-orang terdekatnya. Setiap luka
pasti punya cerita, begitu kesimpulan si perempuan. Si lelaki lupa
tentang cerita di balik lukanya. Si perempuan sebaliknya tak bisa
membahasakan lukanya, yang coba dicari oleh si laki-laki dengan
meraba-raba selangkangan si perempuan. Ia hanya bisa menatap ke kamera
dan menangis. Sentuhan yang seharusnya mendekatkan malah menjauhkan
keduanya dalam kegetiran yang tak bisa dibahasakan. Ketika Trip to the Wound diputar bersama sembilan film pendek lainnya di 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi,
tercipta rujukan bahwa kegetiran tak terbahasakan yang dirasakan si
perempuan adalah tragedi pemerkosaan perempuan-perempuan etnis Cina
tahun 98 silam.
Trip to the Wound menjadi intro
yang menarik untuk menonton dua film panjang Edwin. Trauma sosial
perihal diskriminasi warga keturunan Tionghoa dikembangkan menjadi
format film panjang dalam Babi Buta yang Ingin Terbang. Dapat
dilihat bagaimana tokoh-tokoh dalam film itu begitu teralienasi, tidak
saja dari sesamanya tapi juga dirinya sendiri. Ada seorang dokter yang
sengaja melukai matanya sendiri, pemain bulutangkis yang dipertanyakan
kewarganegaraannya, dan lelaki Manado yang sering dikeroyok waktu kecil.
Masalahnya sama: mata mereka sipit dan lingkungan mereka tak bisa
menerimanya. Potret alienasi kian diperkuat oleh struktur film yang
fragmental, terpilah dalam bagian-bagian, seakan-akan ada sekat imajiner
yang mengungkung tokoh-tokoh tersebut. Dalam Postcards from the Zoo,
Edwin merenungkan sentuhan manusia dalam wujud visual. Ia menghadirkan
seorang perempuan yang lahir dari kondisi tanpa keluarga, tumbuh besar
di kebun binatang, dan tak pernah mengalami kontak manusia sepanjang
hidupnya. Sialnya, satu-satunya sentuhan murni yang dia rasakan berasal
dari makhluk setengah-manusia-setengah-dewa, yakni seorang pesulap
berkostum koboi yang bisa muncul dan hilang sesuka hati. Sentuhan yang
ia rasakan dengan manusia normal selalu berujung pada tiga kemungkinan
yang sama tak enaknya: artifisial, eksploitatif, atau berbasis
kepentingan ekonomi.
Kesimpulan setelah menonton tujuh film
pendek dan dua film panjang Edwin: mencari kepastian jati diri sama saja
seperti mencari babi buta di kebun binatang. Sia-sia dan tak masuk
akal.
.
Referensi
[1] Gotot Prakosa. 1982. Investasi Besar untuk Film Pendek, dalam Kamera Subyektif Rekaan Perjalanan Dari Sinema Ngamen ke Art Cinema, disunting oleh Gotot Prakosa. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Seni Visual Indonesia, 2006, halaman 47.
[1] Gotot Prakosa. 1982. Investasi Besar untuk Film Pendek, dalam Kamera Subyektif Rekaan Perjalanan Dari Sinema Ngamen ke Art Cinema, disunting oleh Gotot Prakosa. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Seni Visual Indonesia, 2006, halaman 47.
[2] Khoo Gaik Cheng. 2011. Menyoroti Film-Film Edwin, dalam Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?, disunting oleh Khoo Gaik Cheng dan Thomas Barker. Jakarta: Salemba Humanika, 2011, halaman 167.
[3] Eric Sasono. 2008. Katalog Keluarga Milik Edwin. Diakses 17 Maret 2012 di situs Rumah Film.
[4] John Berger. Ways of Seeing. London: Penguin Book, 1977, halaman 63.
.
Artikel ini ditulis dalam rangka acara Bulan Film Nasional 2012 (15-31 Maret) yang diselenggarakan oleh Kineforum.
.
Posting Komentar