Ada beberapa orang yang gemar sekali
membuat film pendek. Entah karena kesempatan membuat film panjang belum
jua datang, atau karena film pendek memang benar-benar menantang.
Soalnya ramai beredar kesan bahwa sebenarnya, dari segi penuturan, film
pendek hanyalah film panjang yang dipendek-pendekkan. Film pendek ada
karena pembuat film bernafsu sekali ingin bikin film tapi tak ada yang
sudi mendanai. Film pendek juga kerap dianggap sebagai medium cari
perhatian para pembuat film amatir sebelum ada satu dua orang dari
industri arus utama yang tertarik mendanai proyek film panjang mereka.
Apapun alasannya, film pendek tetaplah medium yang sah. Sejak pertama
kali ramai dibuat di sekitar tahun 1998, film pendek telah menjadi media
tutur paling jujur dan polos dari pembuat film. Ia tak terlalu
memusingkan kapital, tak terlalu memusingkan roda pemasaran, bahkan
kadang tak ingat bahwa film sejatinya dibuat untuk penonton. Banyak
pembuat film pendek yang membuat film hanya untuk diri mereka sendiri.
Apakah sah? Tentu saja.
Berkelindan dengan gejala-gejala itu,
seorang kawan pernah berujar, “Bila mau lihat film Indonesia, lihatlah
film pendek.” Pendapat tersebut ada benarnya. Terlepas dari niatan
pembuat film, film pendek tetaplah patut dilihat dari kekhasan cara
bertuturnya. Sebelumnya Cinema Poetica pernah mengungkit sekelumit
tentang BW Purbanegara, seorang sineas film pendek dari Yogyakarta. Kali
ini Cinema Poetica akan coba menjelajahi sekubit karya sineas film
pendek yang juga berasal dari Yogyakarta, Ismail Basbeth. Lewat empat
film pendeknya, saya rasa penting menggaris bawahi karya-karya Basbeth
karena usahanya untuk terus menerus menginvestigasi kekhasan cara tutur
film pendek. Singkatnya, film-film pendek (terutama dua yang terakhir)
berusaha mati-matian untuk membunuh anggapan bahwa film pendek adalah
film panjang yang dipendek-pendekkan. Karya-karya ini berusaha
menasbihkan bahwa film pendek adalah medium yang merdeka dari panjajahan
film panjang.
Film pertama Basbeth yang ditayangkan ke publik adalah Hide and Sleep
(2008), bercerita tentang seorang lelaki kribo yang suatu pagi bangun
dan tiba-tiba mendapatkan beberapa perempuan tidur di sampingnya.
Semacam cerita pasca mabuk semalam dimana kejadian tiba-tiba sudah
mencapai akhirnya tanpa si protagonis menemukan pangkal berangkatnya.
Terlebih lagi, si protagonis sebenarnya sudah punya pacar. Terlebih
lagi, yang datang membangunkannya pada pagi hari, ketika ia masih
tertidur lelap di ranjang kos-kosan bersama para perempuan obskyur itu,
adalah si pacar. Hide and Sleep tentulah sebuah cerita
psikologis, selain protagonis yang merasa mabuk dan kacau-ingatan,
ambang pandang kamera juga terkesan pusing dalam tangkapan-tangkapan
gambarnya.
Hide and Sleep berisi banyak
shot-shot terpisah, dengan sudut kemiringan mencolok, yang sedari awal
menandai bahwa ada yang salah di kamar kos-kosan ini. Salah satu yang
paling menarik adalah shot ikan hias dalam bejana. Setiap kali kerisauan
si kamera dan si karakter mulai bercabang dan saling tabrak, tensi akan
diturunkan dengan menampikan kembali si ikan hias di layar. Tenang
sejenak, mood karakter dan kembali kembali ditabrakkan kesana
kemari. Film ini bertumpu pada cerita sederhana, yang membuatnya menarik
adalah psikologi kamera. Tanpa shot-shot yang risau, impresi serupa tak
akan bisa ditangkap para pemirsa.
Film kedua yang Basbeth buat adalah dokumenter pendek Harry van Yogya,
tentang seorang tukang becak yang melek teknologi. Ia menggaet
pelanggan lewat jejaring sosial Facebook. Sosok Harry van Yogya ini
sempat terkenal di Yogyakarta sebab ia pernah diliput salah satu stasiun
televisi. Harry van Yogya berusaha mencerna lebih dekat, siapa
sebenarnya Harry, bagaimana pandangan pribadinya terhadap nasibnya
sendiri dan nasib orang-orang di sekitarnya.
Sebagai dokumenter, Harry van Yogya
tidak menawarkan apa-apa kecuali cerita tentang seorang tukang becak
yang melek teknologi. Lewat premis utamanya, film ini tentu saja ingin
memotret sekelumit bukti bahwa profesi kelas bawah tidak selalu berarti
bahwa penyandang profesi tersebut adalah orang yang tidak melek sekitar.
Anggapan “tukang becak adalah orang yang pandir” adalah stereotip yang
beresiko. Premis ini sangat sesuai dengan kondisi sosial Yogyakarta
dimana tukang sapu jalan kadang lebih melek politik daripada mahasiswa
ilmu politik. Penjual kain meteran lebih fasih berbahasa Inggris
dibanding mahasiswa jurusan pariwisata. Selalu ada anomali yang hangat
di Jogja, dan itu yang berusaha ditampilkan oleh Harry van Jogja.
Usaha melawan stereotip itu kemudian
ditampilkan di film dalam korelasinya dengan gambar dan suara. Sepanjang
film, unsur visual selalu berkisar pada kegiatan sehari-hari Harry:
mengantar penumpang, mandi di sumur, bermain Facebook, dan sebagainya.
Sementara unsur audionya merekam suara Harry yang sedang menyampaikan
pandangan-pandangannya tentang dinamika politik di Indonesia: korupsi,
rakyat kecil yang terlantar, dan mental yang seyogyanya dimiliki para
pemimpin. Korelasi audiovisual ini sekali lagi membuktikan bahwa Harry van Yogya berusaha untuk melawan stereotip yang berpendar di sekitar kelas sosial dan kapabilitas personal. Bagi Harry van Yogya, tak ada rumus stabil antara keduanya.
Lompatan besar dalam visi artistik Basbeth terlihat pada film ketiganya, Shelter.
Film ini pernah diputar di Rotterdam International Film Restival dan
tahun ini akan ikut berkompetisi di Vladivostok International Film
Festival. Sebelum Shelter, Basbeth pernah memprakarsai One Shot Project (ulasan tentangnya bisa disimak di sini), sebuah karya kolektif yang berisi beberapa video pendek yang hanya dibangun oleh satu shot tanpa putus. Shelter juga tertular oleh visi tersebut. Shelter
berpusar pada momen ganjil yang tak terjelaskan. Seorang lelaki
berusaha mencumbui perempuan yang duduk di sampingnya dalam bus kota.
Waktu tampak sudah larut malam, bukan lagi jam normal di mana bus kota
masih beroperasi. Seolah tak peduli dengan nafsunya yang
setengah-setengah dan nafasnya yang terengah-engah, sang lelaki terus
saja mencumbu dan mencumbu. Tak adakah penumpang lain? Siapa peduli.
Anehnya, sang perempuan tak memberi respon sedikitpun. Satu saja kesan
yang diuarkannya: ia seperti sedang diganggu oleh sesuatu dalam
pikirannya.
Shelter tampak sirkular dalam modus penceritannya. Cerita tentang nafsu dan ketidaknymanan diceritakan lewat satu shot di tempat yang sama. Film kemudian didominasi oleh adegan grepe-grepe
sepihak yang mengundang kerut dahi. Lelaki tak tahu diri mencumbui
perempuan yang tak peduli. Dalam atmosfir yang sedemikian mengambang,
pijakan moral-seksual kemudian tak diizinkan masuk. Jangankan menjawab
siapa yang benar dan siapa yang salah, kita bahkan tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Seiring berjalannya film, Shelter kemudian
menepuk ringan bahu penontonnya seperti sambil seraya berujar, “Lihat
kan? kamu selalu berusaha mencap sesuatu bahkan sebelum tahu apa yang
sebenarnya terjadi.” Shelter memeragakan lompatan-lompatan gigantis yang terjadi justru ketika ceritanya berkisar pada keberulangan dan kebosanan.
Dalam film pendek terbaru Basbeth, Ritual,
sepasang kekasih hanya saling bertukar kata setiap habis bercinta di
kamar hotel yang sama. “Kamu lapar? Aku pesan makanan, ya.” Begitu saja
berulang-ulang. Kamera pun menempati posisi yang sama yakni semacam
kamera CCTV berlensa cembung di sudut ruangan. Selain sudut pandang
kamera itu, satu kamera juga ditempatkan di lobi hotel untuk merekam
taksi yang datang membawa sang pacar. Adegan bercinta, adegan bertukar
kata, dan adegan taksi datang berulang-ulang memasuki layar sampai
menguarkan kesan bahwa Ritual masih mengemban misi yang sama dengan Shelter : mengeksplorasi sesuatu dari lingkar keberulangan.
Satu penanda penting pada Ritual
adalah posisi kamera yang menyerupai kamera CCTV. Sinema yang
senentiasa berkelindan dengan ide-ide tentang voyeurisme diangkat
kembali oleh Ritual. Tak ada orang di samping kamu bukan
berarti tidak ada yang melihat kamu. Bisa saja mereka sedang menonton
santai dari ruang sebelah. Tren penggunaan sudut pandang CCTV dalam
sinema mengkonfirmasikan kembali apa yang ditulis Paul Virilio dalam
bukunya War and Cinema yang kurang lebih berpremis, “Di medan
perang, tak adanya musuh di samping kamu bukan berarti tak ada yang
mengintai kamu, bisa jadi mereka sedang menonton santai dari kamera
radar di sebuah menara kontrol, atau dari kokpit sebuah pesawat tempur.”
Dalam catatan Virilio (yang kebetulan menjadikan Perang Dunia sebagai
studi kasusnya), pemegang kamera adalah pemegang kuasa dimana ia bisa
melihat apa saja yang ingin mereka lihat.
Menariknya, dalam Ritual,
penonton (yang secara posisi menduduki sudut pandang pemegang kamera)
ternyata tidak bebas melihat apa saja yang ingin ia lihat. Basbeth
bermain dengan ritme, semakin ke belakang, keberulangan semakin
dipangkas menjadi pendek dan semakin pendek. Ritme film bergerak dalam
arus dekreskendo. Alih-alih menikmati kenyaman melihat, penonton justru
diganggu oleh ritme ini dan kemudian dibimbing untuk mempertanyakan
sesuatu yang lain, sesuatu yang juga muncul dalam Shelter: apa yang tergali dari kebosanan dan keberulangan? Gaya penyuntingan dalam Ritual
sedemikian rupa bangkit melawan kenyamanan penonton dalam melihat.
Berbeda dengan fungsi sosial-profesional CCTV sehari-hari yang biasanya
dioperasikan sekehendak kuasa para staf keamanan, posisi kamera CCTV
dalam Ritual hanya terinspirasi, dan adalah murni eksplorasi
estetis yang bangkit memperingkatkan bahwa pemegang kamera ternyata
bukan pemegang kuasa. Gaya penyuntingan yang digunakan untuk menciptakan
ritme dalam Ritual adalah hal yang paling menarik dalam film ini.
Bagi saya, film-film Basbeth yang paling patut dicatat adalah Shelter dan Ritual. Kedua film inilah yang paling sukses menjelajahi kekhasan cara bertutur film pendek. Cara penuturan dalam Shelter dan Ritual hanya paten dilakukan dalam film pendek dan niscaya akan nihil bila dilakukan dalam film panjang. Selain film Percakapan Ini karya Ifa Isfansyah (yang termasuk dalam film omnibus Belkibolang), saya rasa Shelter dan Ritual adalah dua hasil penggalian yang paling orisinil dalam khazanah penuturan film pendek Indonesia dalam dua tahun terakhir. Percakapan Ini membentuk narasi elips sempurna di mana film dimulai dan diakhiri pada titik waktu yang sama, sementara Ritual
membentuk narasi segitiga sempurna di mana detil kejadian berulang
semakin tidak perlu diceritakan tetapi justru semakin melahirkan
penanda-penanda baru. Seiring kejadian berulang, semakin banyak gambar
yang hilang, semakin banyak pula yang bisa dipahami pemirsa.
sumber : http://cinemapoetica.com
sumber : http://cinemapoetica.com
Posting Komentar