Intimate Session With Ismail Basbeth
Written by
Wardhana,
18 September 2012
Sutradara nyentrik ini dikenal dengan karya-karyanya yang out of the box, berasal dari Wonosobo,
pria kellahiran tahun 1985 ini sempat menekuni musik tradisional di
STSI Bandung dan ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta.
Pada 14 September lalu, freemagz.com berkesempatan mewawancarai Ismail Basbeth di tengah-tengah pemutaran film yang bertajuk “Who The F*** Is Ismail Basbeth?” di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.
Anda
lebih dikenal sebagai sutradara film pendek, alasan Anda terjun dalam
dunia film pendek ini apa? Mengingat Anda memiliki latar belakang
pendidikan Musik Tradisonal dan Ilmu Komunikasi.
ISMAIL BASBETH: Sebenarnya
film pendek itu ketemunya lucu, film ya bukan hanya film pendek. Karena
Saya juga buat film panjang tapi bukan sebagai sutradara, awalnya itu
saat tahun 2004 saat masih di kota Jogja.
Dari sumber situs yang pernah Kami baca, semua inspirasi film pendek Anda dari kota Jogja. Di Jogja ada apa saja memang?
ISMAIL BASBETH: Itu masalah timing,
Saya pindah ke Jogja dari sekolah musik tradisional di Bandung karena
gak betah lalu saya membuat band bareng teman-teman Saya dan setelah
sekian lama saya merasa “Kok gini-gini saja ..” lalu saya putuskan untuk
kerja saja di rental DVD milik teman yang sempat menjuarai FFI kategori
film dokumenter panjang. Saya kerja jaga rental dan bayar 125 ribu,
jadi saya belajar lewat komputer yang dia punya dan filmnya banyak
sampai kesetanan saya nonton film sehingga energi membuat film mulai
terbentuk, pada akhirnya pada fase 2004 sampai 2008 saya bikin film yang
masih niru, saya sering bilang film-film tersebut film kelas nol yang
saya buat.
Kalau meniru, berarti ada influence-nya dong?
ISMAIL BASBETH: Langsung malah, bukan hanya influence,
meniru langsung jadi tokohnya jelas. Seperti saat saya dekat dengan
seniman video namanya Ipunk, dia membuat karyanya menarik dan saya
sering merespon karya dia hingga akhirnya saya meniru film-film yang dia
buat. Kalau di Jogja prosesnya bareng, sesama komunitas bisa tukeran
energi jadi saling bantu.
Jadi awalnya Anda tidak ada basic membuat film?
ISMAIL BASBETH: Saya sekolah di advertising, tapi
sampai saat ini saya belum buat iklan (tertawa). Jadi otodidak saja
bareng temen-temen seperti Damar, temen-temen yang senang sama film dan develop sendiri energinya ternyata saya lebih seneng buat film daripada edit misalnya.
Apakah
Anda setuju dengan anggapan sineas film-film pendek saat membuat film
salah satu tujuannya untuk mencari perhatian produser untuk mendanai
film-film yang sineas rencanakan?
ISMAIL BASBETH: Logika
itu ada, ada yang menggunakan film pendek untuk menuju tahap
selanjutnya, tapi untuk saya tidak seperti itu, proses saya lebih
organik jadi saat membuat film pendek saya memiliki pemikiran “Mau bikin
film panjang gimana? Cara bikin film aja gak tau” jadinya daripada buat
film-film yang panjang, buat film pendek saja yang hanya sepanjang lima
menit atau lebih, karya saya juga ada yang pendek karena sesuai
kebutuhan. Film pendek dan film panjang atau dokumenter dan fiksi itu
selalu dibedakan tapi bagi saya nggak penting, mungkin untuk pemetaan
pada penonton penting bagi programmer dan distributor, tapi bagi seniman nggak penting.
Ada
cerita atau kesan-kesan yang nggak bisa panjang atau ada yang memang
harus panjang, dalam membuat film harus seorganik itu, cerita yang
panjang jangan dipendek-pendekkin, cerita yang pendek jangan
dipanjang-panjangin. Untuk tahu itu, harus butuh proses dan melakukan
kesalahan. Tidak ada produser yang memberikan uang untuk membuat film
lalu membuat kesalahan sendiri. Karena proses seorganik itu, saya kerja
pada tahun 2008 saya harus buat film yang inisiasinya berawal dari saya
yang berjudul “Hide and Sleep,” saya melakukan pemutaran film seperti ini karena saya yang mau, saya punya PH Hide Project Indonesia dan punya partner Suryo
Adi Wiyoko Karena proses dan bertemannya dengan saya bareng,
hubungannya bukan sutradara dan produser, hubungannya pertemanan.
Karena
saya lebih siap menyutradarai dan punya cerita jadinya dia yang
mengurus segala sesuatunya. Jadi nggak ada pertimbangan dan sama-sama
suka film, saat itu tidak ada pikiran untuk membuat film panjang tapi
setelah mengalami proses dan menemukan metode-metode akhirnya setetlah
sembilan tahun saya memutuskan untuk membuat film panjang tahun depan.
Bedanya
Film panjang dan film pendek dari fungsi dan ceritanya, tapi jika
dilihat sebagai produser, memang produser lebih memilih film panjang
karena distribusinya lebih jelas ada 21, Blitz. Kalau film pendek
gimana? Kalau tadi saat pemutaran saya tiketkan 100ribu memang kalian
mau? Mungkin kalian berpikir dua kali apalagi jika kalian belum tahu
tentang saya. Di luar negeri saja sistem ticketing,
saya paling benci pemutaran film pendek yang gratis tapi tujuan
pemutaran sekarang adalah pengen kenalan sama temen-temen di Jakarta,
film ini sudah keliling di luar negeri jadi nggak sopan saja jika di
putar di Indonesia sebagai tanda bersyukur bersama penonton saya
meskipun saya tidak tahu sebanyak apa karena selama ini saya memutar
film di ruang-ruang khusus. Saya punya tantangan tersendiri dalam
membuat film pendek oleh karenanya ada kelas-kelasnya, untuk kelas satu
bisa dibilang saya sudah lulus dengan ditandai pemutaran film ini.
Paling fun itu film pendek, kalau film panjang mau fun gimana? Budgetnya
saja sudah besar.
Dalam film Parts Of The Heart karya Paul Agusta, Anda kan menjadi editor dan Anda juga bekerja sebagai soundman. Bisa dibilang Anda serba bisa tapi apakah hal itu disengaja atau memang permintaan orang lain?
ISMAIL BASBETH: Ya
yang saya bilang organik tadi. Pada jenjang 2004 sampai 2008 prosesnya
kan banyak, kita tidak tahu kita akan menjadi seperti apa. Karena aku
anak musik jadi saya buat musik untuk film, seperti di filmnya Ekky
Imanjaya (2005) dan di filmnya Andi Bachtiar Yusuf (2006) saya membuat
musiknya. Lama-lama fungsi sound editing di musik dan film sama, akhirnya saya belajar itu juga dan mengedit sound film-film pendek sampai akhirnya saya juga belajar editing video pelan-pelan. Karena film making itu massive jadi harus serba bisa, ada art, fotografi, produksi. Hingga pada akhirnya di tahun 2008 “Hide and Sleep” dibuat.
Apakah Anda lebih nyaman sebagai sutradara, editor atau soundman?
ISMAIL BASBETH: Saya
nggak mau mengambil rejeki orang lain, karena ada yang jauh lebih jago.
Tapi saya tidak bisa sekaku itu sama hidupku sendiri, dalam film making
itu semua bagian menyenangkan. Saya juga main film kok, masa saya milih
menjadi sutradara nggak boleh menjadi yang lain. Ya mungkin proses saya
lebih majemuk dari orang lain, mengalir saja.
Film Shelter ikut dalam festival Vladipostok dan Bucharest. Apakah Anda pesimis akan menang?
ISMAIL BASBETH: Saya
nggak peduli mau menang atau kalah karena saya buat film bukan mencari
itu. Alat ukurnya bukan itu, tapi memang ada alat ukurnya misalnya tiket
atau festival. Kebetulan saja di Rusia nggak ada bioskop untuk film
pendek jadinya di ikutkan pada festival. Shelter memang setahun ini
setiap bulan memang diputar di luar negeri, ya nggak apa-apa, “Shelter” kan anakku juga, kalau “Shelter” bisa sekolah ke luar negeri ya sekolahlah yang tinggi.
Kalau untuk keseluruhan film pendek dan penghargaan yang sudah didapat sampai sekarang sudah berapa?
ISMAIL BASBETH: Kalau
untuk film pendek sudah lima yang diputar untuk publik dan ada beberapa
yang diputar untuk kepentingan berbeda. Kalau untuk penghargaan dari
Asian Film Academy meraih Best Director untuk film “Hide and Sleep” dan Workshop di Berlin yang harus bersaing dengan 350 orang dari seluruh dunia. Ya itu aja sih!
Kalau untuk saat ini jika ada tawaran mengajar apakah Anda mau?
ISMAIL BASBETH: Saya sih mau saja, saya suka sharing.
Namun membuat film dan mengajar adalah hal yang berbeda, film sudah ada
dari seratus tahun yang lalu, saya mungkin baru tahu sedikit saja.
Simpelnya saya mau bertukar informasi saja, jangan terlalu serius. Kalau
mereka yang mau diajar sama saya mengikuti proses yang saya buat sih
ayo saja, jika mengikuti proses mereka berarti saya harus belajar lagi
dong sesuai dengan kurikulum mereka, masa orang buta ngajarin orang buta
juga.
Menurut Anda keadaan film di Indonesia saat ini seperti apa?
ISMAIL BASBETH: Saya nggak mau komentar, karena pertanyaannya bisa menjurus ke hal yang tidak saya kuasai. Saya buat film saja!
Posting Komentar